Hutang Indonesia ?

 on 25/04/12  






Sesungguhnya anggaran belanja negara dan biaya-biaya pembangunan lainnya melalui dana pinjaman (utang luar negeri) amat membahayakan, mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat, disamping menjadi alat ampuh penjajahan. Bahaya utang luar negeri, antara lain:
Pertama, utang luar negeri yang diberikan negara-negara Barat Kapitalis kepada negara-negara berkembang adalah salah satu cara yang dilakukan mereka untuk menjajah secara ekonomi negara-negara penerima utang.
Kedua, sebelum utang dicairkan, pihak donor pasti akan mengirimkan para pakarnya untuk mengetahui (memata-matai) isi kantong negara tersebut, dengan dalih untuk mengetahui kapabiitas dan kapasitas negara tersebut, sehingga jumlah utang hingga kemampuan pembayarannyapun dapat ditentukan dan dijamin oleh mereka. Taktik kotor semacam ini adalah kemestian yang dilakukan oleh pihak donor, dan hakikatnya mereka dapat menyusun skenario proses pemiskinan dan ketergantungan yang amat canggih berdasarkan hasil mata-mata mereka.
Ketiga, utang luar negeri yang diberikan negara-negara Kapitalis kepada negara-negara berkembang merupakan senjata politik untuk memaksakan kebijakan politik maupun ekonomi, bahkan sistem hukum, sosial dan militer. Tujuan mereka memberikan utang tidak lain karena untuk menjaga keamanan, eksistensi mereka, dan kemaslahatan dan propaganda ideologi mereka yang Kapitalis, disamping negara-negara berkembang sebagai lahan subur bagi sumber-sumber perekonomian mereka yang konsumtif.
Keempat, utang yang diberikan negara Barat Kapitalis itu hakikatnya sangat melemahkan dan membahayakan ekonomi negara peminjam, terutama utang jangka pendek dengan bunga tinggi. Karena utang yang dicairkan itu berbentuk mata uang asing (dollar AS), dan harus dibayar dalam dollar AS pula, padahal devisa negara peminjam amat miskin dengan mata uang asing itu. Akibatnya, mereka akan memborong dollar yang jauh lebih mahal untuk membayar utang-utangnya. Hal ini akan memukul mata uang mereka dan berakibat munculnya gejolak moneter.
Indikator-indikator yang dipaparkan tadi amat jelas nampak pada perekonomian kita yang amat tergantung dengan utang luar negeri. Privatisasi, transparansi dan libera- lisasi ekonomi, khususnya pada sektor publik yang amat dibutuhkan masyarakat, telah dan mulai dikuasai oleh investor-investor Barat yang memborong kepemilikan perusahaan publik yang sudah dijatuhkan sebelumnya melalui krisis moneter dan ekonomi. Perusahaan-perusahaan kita –terutama sektor riil—diobral murah kepada investor asing yang sudah lama mengintai dengan lapar. Syarat- syarat cairnya utang dengan menyertakan isu HAM (Hak Asasi Manusia), demokratisasi, stabilitas politik dan jargon-jargon lainnya adalah bukti bagaimana utang luar negeri itu memang ada maunya –terutama aspek politik dan ekonomi—atas negeri-negeri Islam yang kaya dengan sumber alamnya. Belum lagi keterlibatan para pakar (baca: mata-mata) ekonom di Bank Sentral seperti BI, atau BPPN serta lembaga-lembaga keuangan penting lainnya, bahkan sampai ke proyek-proyek kecil pedesaan dengan dalih agar dana utangan itu benar-benar sampai pada tujuannya. Akan nampak terlihat bagaimana kita amat patuh kepada nasehat dan petunjuk IMF dan Bank Dunia yang menjadi perpanjangan tangan (politik dan ekonomi) AS. Sedemikian pa- tuhnya sampai-sampai akibat buruk yang amat jelas diperoleh karena kepatuhan kita pada nasehat mereka, bukan disikapi dengan sikap keras melepaskan diri dari jeratan mereka, malah kita sujud di hadapan mereka lebih khusyuk lagi, dengan dalih saat ini tidak ada jalan lain yang dapt mengatasi krisis ekonomi ini kecuali IMF dan Bank Dunia. Na'udzubillahi min dzalik! Itu terlihat dari rapor ekonomi Indonesia yang dikeluarkan IMF dan Bank Dunia lebih setahun lampau yang berpredikat amat memuaskan, kemudian disusul gejolak moneter, devisa bebas, letter of intent hingga berkali-kali, adalah bukti yang tak terbantahkan.
Begitu juga dengan proses pemiskinan sampai negeri ini berada di jurang kehancuran yang tak dapat diselamatkan lagi, adalah akibat kerjasama kita dengan IMF dan Bank Dunia selama kurun waktu 30 tahun terakhir ini. Lalu mana bukti kemakmuran yang dijanjikan IMF dan Bank Dunia, mana bukti bahwa utang luar negeri itu hanya sekedar suplemen kecil dan diupayakan untuk membebaskan diri sama sekali dari utang itu, dan mana janji-janji muluk lainnya yang menenangkan rakyat dan mengenyangkan rakyat.

LALU HARUS BAGAIMANA ?


Mengingat bahaya utang luar negeri yang amat dahsyat, juga ketergantungan yang besar terhadap negara donor dalam aspek ekonomi dan politik, perlu dilakukan langkah- langkah praktis sebagai berikut :
1. Memutuskan sama sekali utang luar negeri dengan negara-negara Barat.
2. Melakukan land reform dengan menghidupkan kembali tanah-tanah mati (ardlul mawat) untuk membangun sektor pertanian khususnya produk-produk perta- nian seperti beras, kacang kedelai, tebu, kelapa sawit, peternakan dan perikanan yang masuk sembako. Dan mem- berdayakan lahan maupun barang milik negara dan umum (kaum muslimin) seperti laut, gunung, hutan, pantai, sungai, danau, padang rumput, pertambangan emas, minyak, timah, tembaga, nikel, gas alam, batu bara dan lain-lain.
3. Memutuskan import atas barang-barang luar negeri yang diproduksi di dalam negeri, agar ketergantungan pembayaran dalam bentuk mata uang asing diminimalisasi, dan membatasi import dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku yang diperlukan untuk industri dasar dan industri berat yang sarat dengan teknologi tinggi.
4. Memperbesar ekspor untuk barang-barang yang bernilai ekonomi tinggi, dengan catatan tidak mengganggu kebutuhan dalam negeri dan tidak memperkuat ekonomi dan eksistensi negara-negara Barat Imperialis.
5. Memfokuskan pembangunan industri dasar sebelum industri berat, dan tidak memfokuskan pada industri ringan yang parsial dan konsumtif.
Mengenai pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan urusan rakyat dapat dipenuhi dari barang-barang yang dikuasai dan dimiliki oleh negara atau dimiliki  umum tetapi pengelolaannya oleh negara, seperti pertambangan, hutan, dan lain-lain. Anda bisa menggambarkan besarnya nilai barang tambang yang selama ini dikuasai oleh individu atau perusahaan asing dalam penerimaan negara migas dan non migas. Seharusnya penerimaan dalam non migas yang meliputi pertambangan emas, tembaga, aluminium, nikel, dan lain-lain jauh lebih besar dari penerimaan migas yang besarnya cuma Rp. 49,71 trilyun. Sayang pertambangan- pertambangan itu dikuasai oleh perusahaan Barat yang Kapitalis, atau individu yang tamak. Belum lagi perkebunan yang amat banyak jumlahnya, yang dikuasai oleh negara, namun andil dalam penerimaan anggaran amat kecil, disebabkan kebocoran anggaran yang cukup besar.
Hutang Indonesia ? 4.5 5 Fizzo's Blog 25/04/12 Sesungguhnya anggaran belanja negara dan biaya-biaya pembangunan lainnya melalui dana pinjaman (utang luar negeri) amat membahaya...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.