Sesungguhnya anggaran
belanja negara dan biaya-biaya pembangunan lainnya melalui dana pinjaman
(utang luar negeri) amat membahayakan, mengakibatkan kesengsaraan dan
penderitaan rakyat, disamping menjadi alat ampuh penjajahan. Bahaya utang luar negeri, antara lain:
Pertama, utang
luar negeri yang diberikan negara-negara Barat Kapitalis kepada
negara-negara berkembang adalah salah satu
cara yang dilakukan mereka untuk menjajah secara ekonomi negara-negara
penerima utang.
Kedua, sebelum utang dicairkan, pihak
donor pasti akan mengirimkan para pakarnya untuk mengetahui
(memata-matai) isi kantong negara tersebut, dengan dalih untuk
mengetahui kapabiitas dan kapasitas negara tersebut, sehingga jumlah
utang hingga kemampuan pembayarannyapun dapat ditentukan dan dijamin
oleh mereka. Taktik kotor semacam ini adalah kemestian yang dilakukan
oleh pihak donor, dan hakikatnya mereka dapat menyusun skenario proses
pemiskinan dan ketergantungan yang amat canggih berdasarkan hasil
mata-mata mereka.
Ketiga, utang
luar negeri yang diberikan negara-negara Kapitalis kepada negara-negara
berkembang merupakan senjata politik untuk memaksakan kebijakan politik
maupun ekonomi, bahkan sistem hukum, sosial dan militer. Tujuan mereka
memberikan utang tidak lain karena untuk menjaga keamanan, eksistensi
mereka, dan kemaslahatan dan propaganda ideologi mereka yang Kapitalis,
disamping negara-negara berkembang sebagai lahan subur bagi
sumber-sumber perekonomian mereka yang konsumtif.
Keempat, utang
yang diberikan negara Barat Kapitalis itu hakikatnya sangat melemahkan
dan membahayakan ekonomi negara peminjam, terutama utang jangka pendek
dengan bunga tinggi. Karena utang yang dicairkan itu berbentuk mata
uang asing (dollar AS), dan harus dibayar dalam dollar AS pula, padahal
devisa negara peminjam amat miskin dengan mata uang asing itu.
Akibatnya, mereka akan memborong dollar yang jauh lebih mahal untuk
membayar utang-utangnya. Hal ini akan memukul mata uang mereka dan
berakibat munculnya gejolak moneter.
Indikator-indikator yang dipaparkan tadi amat jelas
nampak pada perekonomian kita yang amat tergantung dengan utang luar
negeri. Privatisasi, transparansi dan libera- lisasi ekonomi, khususnya
pada sektor publik yang amat dibutuhkan masyarakat, telah dan mulai
dikuasai oleh investor-investor Barat yang memborong kepemilikan
perusahaan publik yang sudah dijatuhkan sebelumnya melalui krisis
moneter dan ekonomi. Perusahaan-perusahaan kita –terutama sektor
riil—diobral murah kepada investor asing yang sudah lama mengintai
dengan lapar. Syarat- syarat cairnya utang dengan menyertakan isu HAM
(Hak Asasi Manusia), demokratisasi, stabilitas politik dan jargon-jargon
lainnya adalah bukti bagaimana utang luar negeri itu memang ada maunya
–terutama aspek politik dan ekonomi—atas negeri-negeri Islam yang kaya
dengan sumber alamnya. Belum lagi keterlibatan para pakar (baca:
mata-mata) ekonom di Bank Sentral seperti BI, atau BPPN serta
lembaga-lembaga keuangan penting lainnya, bahkan sampai ke proyek-proyek
kecil pedesaan dengan dalih agar dana utangan itu benar-benar sampai
pada tujuannya. Akan nampak terlihat bagaimana kita amat patuh kepada
nasehat dan petunjuk IMF dan Bank Dunia yang menjadi perpanjangan tangan
(politik dan ekonomi) AS. Sedemikian pa- tuhnya sampai-sampai akibat
buruk yang amat jelas diperoleh karena kepatuhan kita pada nasehat
mereka, bukan disikapi dengan sikap keras melepaskan diri dari jeratan
mereka, malah kita sujud di hadapan mereka lebih khusyuk lagi, dengan
dalih saat ini tidak ada jalan lain yang dapt mengatasi krisis ekonomi
ini kecuali IMF dan Bank Dunia. Na'udzubillahi min dzalik! Itu
terlihat dari rapor ekonomi Indonesia yang dikeluarkan IMF dan Bank
Dunia lebih setahun lampau yang berpredikat amat memuaskan, kemudian
disusul gejolak moneter, devisa bebas, letter of intent hingga berkali-kali, adalah bukti yang tak terbantahkan.
Begitu juga dengan proses pemiskinan sampai negeri
ini berada di jurang kehancuran yang tak dapat diselamatkan lagi, adalah
akibat kerjasama kita dengan IMF dan Bank Dunia selama kurun waktu 30
tahun terakhir ini. Lalu mana bukti kemakmuran yang dijanjikan IMF dan
Bank Dunia, mana bukti bahwa utang luar negeri itu hanya sekedar
suplemen kecil dan diupayakan untuk membebaskan diri sama sekali dari
utang itu, dan mana janji-janji muluk lainnya yang menenangkan rakyat
dan mengenyangkan rakyat.
LALU HARUS BAGAIMANA ?
Mengingat bahaya utang luar negeri yang amat
dahsyat, juga ketergantungan yang besar terhadap negara donor dalam
aspek ekonomi dan politik, perlu dilakukan langkah- langkah praktis
sebagai berikut :
1. Memutuskan sama sekali utang luar negeri dengan negara-negara Barat.
2. Melakukan land reform dengan menghidupkan kembali tanah-tanah mati (ardlul mawat)
untuk membangun sektor pertanian khususnya produk-produk perta- nian
seperti beras, kacang kedelai, tebu, kelapa sawit, peternakan dan
perikanan yang masuk sembako. Dan mem- berdayakan lahan maupun barang
milik negara dan umum (kaum muslimin) seperti laut, gunung, hutan,
pantai, sungai, danau, padang rumput, pertambangan emas, minyak, timah,
tembaga, nikel, gas alam, batu bara dan lain-lain.
3. Memutuskan import atas barang-barang luar negeri
yang diproduksi di dalam negeri, agar ketergantungan pembayaran dalam
bentuk mata uang asing diminimalisasi, dan membatasi import dalam bentuk
bahan mentah atau bahan baku yang diperlukan untuk industri dasar dan
industri berat yang sarat dengan teknologi tinggi.
4. Memperbesar ekspor untuk barang-barang yang
bernilai ekonomi tinggi, dengan catatan tidak mengganggu kebutuhan dalam
negeri dan tidak memperkuat ekonomi dan eksistensi negara-negara Barat
Imperialis.
5. Memfokuskan pembangunan industri dasar sebelum
industri berat, dan tidak memfokuskan pada industri ringan yang parsial
dan konsumtif.
Mengenai pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan
urusan rakyat dapat dipenuhi dari barang-barang yang dikuasai dan
dimiliki oleh negara atau dimiliki umum tetapi
pengelolaannya oleh negara, seperti pertambangan, hutan, dan lain-lain.
Anda bisa menggambarkan besarnya nilai barang tambang yang selama ini
dikuasai oleh individu atau perusahaan asing dalam penerimaan negara
migas dan non migas. Seharusnya penerimaan dalam non migas yang
meliputi pertambangan emas, tembaga, aluminium, nikel, dan lain-lain
jauh lebih besar dari penerimaan migas yang besarnya cuma Rp. 49,71
trilyun. Sayang pertambangan- pertambangan itu dikuasai oleh perusahaan
Barat yang Kapitalis, atau individu yang tamak. Belum lagi perkebunan
yang amat banyak jumlahnya, yang dikuasai oleh negara, namun andil dalam
penerimaan anggaran amat kecil, disebabkan kebocoran anggaran yang
cukup besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar