Dominasi kepemilikan saham asing di industri perbankan nasional hingga 50,6 persen dinilai sudah mengangkangi kedaulatan ekonomi Indonesia. Karena itu, perlu adanya penegasan spesifik dalam Undang-Undang (UU) Perbankan yang selama ini memberikan kelonggaran pihak asing berekspansi di perbankan nasional. Kekuatan modal yang dimiliki investor asing akan mempermudah penetrasi dan dominasi
industri perbankan dalam negeri. Kelonggaran ini didukung UU No 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan yang mengizinkan kepemilikan asing pada bank lokal hingga 99 persen.
Ketentuan tertinggi 51 persen sudah lebih dari cukup. "UU Perbankan sangat perlu direvisi mengacu pada risiko-risiko ekonomi nasional. Saat ini, memang belum mencapai titik batasan itu. Langkah tepat untuk mengalihkan ego pasar nasional tentu saja Bank Indonesia (BI) seharusnya menegaskan penundaan penambahan modal atas permohonan bank-bank asing agar penjualan saham simultan kepada asing tidak terjadi," katanya. Sejak satu dekade terakhir, peranan investasi domestik memang terlihat melemah, ketimbang penanaman modal asing. Hal ini disebabkan regulasi perbankan Indonesia yang mengizinkan kepemilikan asing hingga 99 persen sangat berbeda dengan regulasi yang ada di negara tetangga. Sebagai contoh, Malaysia kepemilikannya dibatasi hanya sampai 30 persen dan di Singapura pemilikan asing sampai 5, 10, dan 20 persen harus dengan izin negara. Sementara itu, kepemilikan bank asing sampai 100 persen di beberapa negara lainnya, juga dibatasi periodenya. Seperti di Filipina yang dibatasi hanya sampai tujuh tahun dan setelahnya kepemilikan dikurangi. Demikian juga di Thailand yang dikurangi dalam kurun waktu 10 tahun, setelah itu harus divestasi menjadi pemilik minoritas, maksimum hanya sampai 49 persen. Ketidaktegasan BI ataskepemilikan asing di perbankan nasional.
Pembatasan saham harus segera dilakukanuntuk memperkuat kedaulatan
ekonomi nasional, sekaligus meningkatkan good
corporate governance (tata kelola perbankan yang lebih baik). Data BI menyebutkan, terdapat empat bank persero, 36 bank umum swasta nasional (BUSN) devisa, 31 BUSN nondevisa, 26 bank pembangunan daerah, 14 bank campuran, dan 10 bank asing. Kredit yang dikucurkan bank asing mencapai Rp 117,057 triliun. Dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun sebesar Rp 127,249 triliun. Total aset 10 bank asing sebesar Rp 228,171 triliun. Bank-bank yang kolaps saat itu banyak dikuasai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sayangnya kemudian BPPN justru cepat melepas ke pihak asing tanpa ada klausul untuk melakukan buy back (pembelian kembali) bank-bank tersebut kepada pihak nasional. Ironisnya, penguasaan asing atas aset-aset perbankan nasional terus berlanjut hingg saat ini karena pemerintah justru memberi aturan yang sangat longgar. Kalau dari sisi konsumen sih, pengusaha hanya melihat likuiditas saat ini. Tapi bank itu kan jantungnya perekonomian, jika jatuh ke tangan negara lain, bisa diartikan kita tak memiliki kedaulatan ekonomi. Fakta paling terasa dari kurangnya kontribusi bank-bank asing terhadap perekonomian Indonesia, katanya, adalah banyaknya dividen atau keuntungan dari kepemilikan saham di bank asing yang ke luar negeri. Padahal, jika tak dikuasai asing, penempatan keuntungan di dalam negeri bisa memutar lebih jauh perekonomian Indonesia. Asas Resiprokal Pekerjaan rumah Indonesia sejatinya terlihat dari tak bisa ditegakkannya asas resiprokal (kesetaraan). Indonesia tak hanya lemah terhadap lobi bank asing yang ingin berekspansi ke Tanah Air, namun juga lemah dalam lobi membela kepentingan bank lokal yang ingin berekspansi ke luar negeri. Bank-bank nasional sulit membuka cabang di luar negeri. Perlakuan antara bank asing dengan bank nasional dalam pembukaan cabang di negara lain tidak seimbang. Bank asing bisa dengan mudah membuka cabang di Indonesia. Sebaliknya, bank nasional kesulitan membuka cabang di negara lain. Buka cabang di Jepang dan Singapura misalnya, setengah mati sulitnya. Aneh memang, ketika Indonesia terus didorong agar menerapkan pasar bebas, sementara negara lain tidak. "Ini tidak fair. Tentu tidak wajar kalau kita terus menyediakan karpet merah untuk mereka. Dengan tak adanya cabang bank nasional di negara lain maka eksportir akhirnya
masih menggunakan misalnya Bank of America, Citibank atau bank-bank di
Singapura untuk menyimpan devisa hasil ekspornya.
Sebenarnya, sempat terdengar kabar BI bakal menerapkan asas resiprokal di
industri perbankan. Lewat asas resiprokal, BI akan membatasi gerak bank asing.
Artinya, bank asing tak bebas lagi beroperasi di Indonesia seperti yang selama
ini mereka lakukan. Kantor cabang bank asing juga akan dijadikan badan hukum
Indonesia. Yang terakhir, bank asing diminta
go public dan merevisi kebijakan kepemilikan mayoritas saham.
|
Kepemilikan Asing di Perbankan Indonesia
18/04/12 on
Tidak ada komentar:
Posting Komentar