Kedaulatan Indonesia ?

 on 18/04/12  




Ketahanan energi Indonesia memasuki zona rawan karena kegagalan menerapkan kedaulatan atas sumber daya minyak dan gas bumi serta pertambangan. Migas dan tambang yang seharusnya menjadi sumber daya strategis diperlakukan sebatas komoditas dengan nilai manfaat minimal bagi kesejahteraan rakyat.

Negara melakukan kesalahan besar ketika mengubah bentuk pengelolaan sumber daya strategis menjadi berdasarkan jenis usaha. Konsekuensinya, sumber daya mineral, batubara, dan migas diperlakukan sebatas komoditas. Ini termasuk hilangnya peran negara untuk mengontrol penggunaan sumber daya itu. Dulu kontrak tambang itu harus disetujui presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Eksploitasi sumber daya mineral strategis sebagai komoditas semakin tidak terkendali dengan penerapan otonomi daerah. Pemerintah mencatat ada 8.000 izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Kondisi itu semakin membuka peluang asing untuk menguasai langsung sumber daya batubara dan mineral.
Perusahaan tambang asing, terutama China dan India, masuk menguasai tambang kecil dengan membiayai perusahaan-perusahaan tambang lokal yang kesulitan pendanaan. Tanpa disadari, kita sudah menjadi hulu sumber daya untuk China dan India. Dua negara ini sangat agresif mencari sumber daya batubara sebagai pengganti minyak di luar negeri, sementara cadangan migas dan tambangnya sengaja mereka simpan.
Mengacu data British Petroleum Statistical Review, Indonesia yang hanya memiliki cadangan batubara terbukti 4,3 miliar ton atau 0,5 persen dari total cadangan batubara dunia menjadi pemasok utama batubara untuk China yang memiliki cadangan batubara terbukti 114,5 miliar ton atau setara 13,9 persen dari total cadangan batubara dunia.
Dengan rata-rata produksi 340 juta ton per tahun, sekitar 240 juta ton diekspor, cadangan terbukti batubara Indonesia akan habis dalam 20 tahun. Jika ini dibiarkan, Indonesia terancam menjadi importir minyak sekaligus batubara.
Di sektor migas, penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing masih dominan. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM menetapkan target porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 persen pada 2025. Saat ini porsi nasional hanya 25 persen, sementara 75 persen dikuasai asing.
Dominasi asing pada sektor migas dan pertambangan itu, dengan penguasaan wilayah kerja yang meluas dan tersebar dari wilayah Sabang di barat sampai Papua di timur Nusantara, membuat kedaulatan negara dan bangsa rawan.
Kondisi seperti itu berbahaya. Kalau terjadi sedikit saja gejolak keamanan di dalam negeri, mereka bisa kirim segera kapal induk (kapal perang) ke wilayah kita atas nama pengamanan aset dan warga negaranya. Kalau itu terjadi, habislah kedaulatan bangsa ini.
Di Bidang Ekonomi, data dari Departemen Keuangan per 31 Agustus 2008 menunjukkan utang luar negeri Indonesia mencapai angka 63,17 miliar dolar AS. Sementara itu, Bank Dunia telah menyediakan pinjaman siaga (standby loan) sebesar 2 miliar dolar AS, ini berarti jika total pembayarannya dibebankan pada seluruh penduduk Indonesia, maka masing-masing penduduk akan menanggung utang 300 ribu dolar AS, atau sekitar tiga miliar rupiah.

Pemerintah menganggap utang luar negeri masih diperlukan dengan tiga alasan. Pertama, bantuan luar negeri
diperlukan untuk pembangunan prasarana fisik, karena infrastruktur adalah hal yang berat dan mahal dalam
pembangunan. Kedua, bantuan luar negeri merupakan pos yang dianggap vital untuk menyeimbangkan neraca
pembayaran, setelah komponen transaksi berjalan selalu defisit. Ketiga, Indonesia menunjukkan perilaku sebagai good boy dalam pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman, sehingga penambahan utang luar negeri masih dianggap wajar.

Di lain pihak, sektor riil terpuruk karena langkah pemerintah yang lebih melindungi pasar saham dalam mengatasi krisis global. Saat bank sentral negara lain memotong suku bunga, SBI malah dinaikkan menjadi 9,50 persen. Akses usaha kecil dan menengah untuk memperoleh modal menjadi terbatas. Hal ini berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya jumlah pengangguran.

Menteri Keuangan sudah mengumumkan penjadwalan kembali utang luar negeri melalui Paris Club.
Pinjaman melalui Paris Club selalu disupervisi oleh IMF. Kita kenal bahwa IMF adalah biangnya liberalisasi ekonomi dengan intervensinya terhadap pencabutan subsidi-subsidi untuk rakyat. Pencabutan tersebut bukan hanya pada subsidi BBM dan listrik, tetapi juga air, pendidikan, dan juga subsidi pertanian.

Tujuannya adalah memperbesar peranan mekanisme pasar dalam penyelenggaraan perekonomian negara. Padahal sistem ekonomi Indonesia jelas bukan sistem ekonomi pasar. Jika pemerintah konsisten dengan UUD 1945, maka liberalisasi ekonomi adalah sebuah pengkhianatan. Sebuah jalan lurus menuju neokolonialisme, yang mengikis kedaulatan Indonesia di bidang ekonomi.

Sekitar 30-40 persen pengeluaran pemerintah pusat adalah untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang negara kepada pihak asing, dan sedikit yang tersisa untuk belanja kesehatan dan pendidikan. Pemerintah telah salah memilih prioritas anggaran. Seharusnya pemerintah berkonsentrasi untuk memberikan maslahat sebesar-besarnya terhadap masyarakat banyak, sesuai konsep negara kesejahteraan (welfaarstaat) yang dianut oleh UUD 1945.

Alokasi anggaran harus diutamakan untuk kesejahteraan rakyat, mengentaskan kemiskinan dan mengatasi
pengangguran. Kenaikan standar hidup rakyat harus dilihat sebagai bagian pembentukan modal nasional (capital
accumulation). Ini berarti tujuan pokok dan terus-menerus dari kebijaksanaan ekonomi kita adalah peningkatan daya beli dari rakyat. Saatnya pemerintah melakukan perbaikan struktur ekonomi Indonesia dengan membuat regulasi untuk memberantas kebocoran anggaran, mengurangi subsidi terselubung di sektor perbankan, dan penguatan modal bagi usaha kecil dan menengah.

Selain itu, segala bentuk korupsi yang menyebabkan biaya transaksi tinggi harus diberantas. Saat ini pemimpin bangsa sudah sedemikian hilang karakter kepemimpinannya sehingga mereka tidak risih lagi menyembunyikan kebenaran bahwa praktik korupsi, kolusi dan nepotisme telah menyeruak begitu dalam dan menjadi denyut sehari-hari jantung pemerintahan kita.

Tanpa kelembagaan yang memiliki derajat kepercayaan dan akuntabilitas yang tinggi, perekonomian akan tumbuh sebagaimana disinyalir oleh Schumpeter sebagai "kapitalisme dalam tenda oksigen". Apa yang terjadi dibalik tenda tidak sungguh-sungguh nyata. Pertumbuhan ekonomi tidak lebih dari ilusi belaka. Apabila kelembagaan demokratis gagal mengendalikan keserakahan penguasa, semua mimpi pada waktunya akan sirna.  
Kedaulatan Indonesia ? 4.5 5 Fizzo's Blog 18/04/12 Ketahanan energi Indonesia memasuki zona rawan karena kegagalan menerapkan kedaulatan atas sumber daya minyak dan gas bumi serta pe...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.