Bersyukurlah kita karena hidup di sebuah negeri
berlimpah sumber energi. Sumber energi apa saja ada di Indonesia, dari
mulai gas, batubara, minyak bumi, panas bumi, mikro hidro, energi angin,
energi laut, energi matahari, bioenergi, biomassa, sampai energi
nuklir. Tak semua Negara memiliki sumber energi sekomplet Indonesia.
Tapi, apalah artinya kaya sumber energi jika tidak mampu memanfaatkannya? Bagi bangsa Indonesia, kekayaan sumber energi adalah paradoks. Bangsa ini ibarat ayam yang sedang sekarat di lumbung padi. Sumber energi yang berlimpah-ruah tak memberikan nilai tambah yang berarti bagi negeri ini. Faktanya, nasib bangsa Indonesia kini ditentukan harga minyak mentah dunia.
Setiap harga minyak bergejolak, bangsa ini teriak. Pemerintah dan parlemen terus berdebat soal perlu atau tidaknya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tarif dasar listrik (TDL).
Sulit untuk dibantah bahwa tingginya ketergantungan bangsa ini terhadap minyak terjadi semata-mata akibat kesalahan manajemen energi. Pemerintah, dari rezim ke rezim, nyaris tak berupaya memanfaatkan sumber-sumber energi alternatif, bahkan setelah Indonesia menjadi importir tulen minyak (net oil importer) sekitar satu dasawarsa silam.
Padahal, cadangan minyak kita terus menipis dan konsumsi BBM di dalam negeri kian meningkat. Salah-kaprah manajemen energi yang diterapkan pemerintah tak hanya berhenti sampai di situ. Alih-alih memanfaatkan sumber energi alternative untuk kemaslahatan rakyat, pemerintah setiap tahun menganggarkan subsidi hingga ratusan triliun rupiah agar harga BBM bisa terjangkau masyarakat golongan mana pun, tak peduli miskin maupun kaya.
Akibatnya, anggaran yang semestinya digunakan untuk membangun infrastruktur publik, mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan membiayai program-program vital lainnya, habis tersedot.
Maka sungguh menggelikan jika harga premium dan solar di negeri importir minyak ini menempati urutan termurah ke-7 di dunia. Lebih menggelikan lagi karena Negara-negara lain yang menjual murah BBM kepada rakyatnya, seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Kuwait, Libya, Arab Saudi, Iran, dan Venezuela—adalah negara-negara kaya minyak dan net oil exporter.
Kini, pemerintah dan DPR masih berdebat soal perlu atau tidaknya menaikkan harga BBM bersubsidi, menyusul terus meningkatnya harga minyak mentah nasional (Indonesia crude price/ICP) di atas asumsi APBN akibat gejolak harga minyak dunia. Perdebatan di Gedung DPR menjalar ke jalanan. Di berbagai daerah, para demonstran menolak kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium dan solar sebesar Rp 1.500 per liter yang direncanakan pemerintah mulai April mendatang.
Pemerintah menghendaki harga BBM bersubsidi naik agar APBN tidak jebol akibat menanggung beban subsidi yang terlampau besar. Sebagai konsekuensinya, pemerintah akan menggulirkan program kompensasi BBM di sektor pendidikan, kesehatan, pangan, dan transportasi, termasuk membagikan dana tunai kepada masyarakat miskin melalui program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Di pihak lain, sebagian politisi di parlemen menghendaki sebaliknya, dengan alasan kenaikan harga BBM bersubsidi akan mengakibatkan masyarakat menderita. Mereka juga menganggap BLSM lebih berbau politik dan tidak membantu masyarakat miskin keluar dari lubuk kemiskinan.
Kebijakan BBM ibarat pisau bermata dua. Naik atau tidak naik tetap saja menimbulkan konsekuensi yang sama-sama sulit, serba dilematis. Tapi, jika mencermati manajemen dan politik energi selama ini, sudah saatnya kita mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi, tentu disertai sebaris catatan dengan hurup besar dan tebaltebal bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi harus mampu memberikan kemaslahatan bagi rakyat Indonesia, bukan malah sebaliknya.
Cukup sudah negeri ini mengalami salah kelola sumber energi. Sudah cukup pula ekonomi kita terdistorsi oleh subsidi BBM yang menyimpang. Subsidi BBM yang tidak tepat sasaran ibarat candu. Sudah berpuluh tahun ekonomi kita dibuat mabuk. Lambat atau cepat, subsidi BBM harus dipangkas, untuk kemudian dihapuskan sama sekali. Sebab, ke depan, harga minyak akan terus naik seiring menipisnya cadangan minyak di perut bumi dan terus meningkatnya konsumsi dunia.
Agar kenaikan harga premium dan solar memberikan kemaslahatan bagi segenap rakyat, pemerintah harus menggunakan dana hasil kenaikan harga premium dan solar untuk membangun infrastruktur publik. Pemerintah juga harus membatalkan BLSM yang nilainya sangat signifikan, sekitar Rp 17 triliun. Daripada dibagikan cumacuma, alangkah bijaknya jika dana itu digunakan untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat miskin, misalnya melalui program pembangunan infrastruktur kota dan perdesaan yang berkesinambungan.
Selain lebih mendidik, program padat karya seperti itu lebih efektif mengentaskan kemiskinan. Program ini akan lebih “nendang” jika dipadukan dengan peningkatan subsidi di sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Dana hasil kenaikan BBM bersubsidi juga harus digunakan untuk membiayai program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) dan energi alternatif lainnya. Sebab, pengurangan atau penghapusan subsidi tak akan ada artinya jika kita masih bergantung pada BBM, sumber energi tak terbarukan yang akan semakin mahal dan langka.
Tapi, apalah artinya kaya sumber energi jika tidak mampu memanfaatkannya? Bagi bangsa Indonesia, kekayaan sumber energi adalah paradoks. Bangsa ini ibarat ayam yang sedang sekarat di lumbung padi. Sumber energi yang berlimpah-ruah tak memberikan nilai tambah yang berarti bagi negeri ini. Faktanya, nasib bangsa Indonesia kini ditentukan harga minyak mentah dunia.
Setiap harga minyak bergejolak, bangsa ini teriak. Pemerintah dan parlemen terus berdebat soal perlu atau tidaknya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tarif dasar listrik (TDL).
Sulit untuk dibantah bahwa tingginya ketergantungan bangsa ini terhadap minyak terjadi semata-mata akibat kesalahan manajemen energi. Pemerintah, dari rezim ke rezim, nyaris tak berupaya memanfaatkan sumber-sumber energi alternatif, bahkan setelah Indonesia menjadi importir tulen minyak (net oil importer) sekitar satu dasawarsa silam.
Padahal, cadangan minyak kita terus menipis dan konsumsi BBM di dalam negeri kian meningkat. Salah-kaprah manajemen energi yang diterapkan pemerintah tak hanya berhenti sampai di situ. Alih-alih memanfaatkan sumber energi alternative untuk kemaslahatan rakyat, pemerintah setiap tahun menganggarkan subsidi hingga ratusan triliun rupiah agar harga BBM bisa terjangkau masyarakat golongan mana pun, tak peduli miskin maupun kaya.
Akibatnya, anggaran yang semestinya digunakan untuk membangun infrastruktur publik, mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan membiayai program-program vital lainnya, habis tersedot.
Maka sungguh menggelikan jika harga premium dan solar di negeri importir minyak ini menempati urutan termurah ke-7 di dunia. Lebih menggelikan lagi karena Negara-negara lain yang menjual murah BBM kepada rakyatnya, seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Kuwait, Libya, Arab Saudi, Iran, dan Venezuela—adalah negara-negara kaya minyak dan net oil exporter.
Kini, pemerintah dan DPR masih berdebat soal perlu atau tidaknya menaikkan harga BBM bersubsidi, menyusul terus meningkatnya harga minyak mentah nasional (Indonesia crude price/ICP) di atas asumsi APBN akibat gejolak harga minyak dunia. Perdebatan di Gedung DPR menjalar ke jalanan. Di berbagai daerah, para demonstran menolak kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium dan solar sebesar Rp 1.500 per liter yang direncanakan pemerintah mulai April mendatang.
Pemerintah menghendaki harga BBM bersubsidi naik agar APBN tidak jebol akibat menanggung beban subsidi yang terlampau besar. Sebagai konsekuensinya, pemerintah akan menggulirkan program kompensasi BBM di sektor pendidikan, kesehatan, pangan, dan transportasi, termasuk membagikan dana tunai kepada masyarakat miskin melalui program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Di pihak lain, sebagian politisi di parlemen menghendaki sebaliknya, dengan alasan kenaikan harga BBM bersubsidi akan mengakibatkan masyarakat menderita. Mereka juga menganggap BLSM lebih berbau politik dan tidak membantu masyarakat miskin keluar dari lubuk kemiskinan.
Kebijakan BBM ibarat pisau bermata dua. Naik atau tidak naik tetap saja menimbulkan konsekuensi yang sama-sama sulit, serba dilematis. Tapi, jika mencermati manajemen dan politik energi selama ini, sudah saatnya kita mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi, tentu disertai sebaris catatan dengan hurup besar dan tebaltebal bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi harus mampu memberikan kemaslahatan bagi rakyat Indonesia, bukan malah sebaliknya.
Cukup sudah negeri ini mengalami salah kelola sumber energi. Sudah cukup pula ekonomi kita terdistorsi oleh subsidi BBM yang menyimpang. Subsidi BBM yang tidak tepat sasaran ibarat candu. Sudah berpuluh tahun ekonomi kita dibuat mabuk. Lambat atau cepat, subsidi BBM harus dipangkas, untuk kemudian dihapuskan sama sekali. Sebab, ke depan, harga minyak akan terus naik seiring menipisnya cadangan minyak di perut bumi dan terus meningkatnya konsumsi dunia.
Agar kenaikan harga premium dan solar memberikan kemaslahatan bagi segenap rakyat, pemerintah harus menggunakan dana hasil kenaikan harga premium dan solar untuk membangun infrastruktur publik. Pemerintah juga harus membatalkan BLSM yang nilainya sangat signifikan, sekitar Rp 17 triliun. Daripada dibagikan cumacuma, alangkah bijaknya jika dana itu digunakan untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat miskin, misalnya melalui program pembangunan infrastruktur kota dan perdesaan yang berkesinambungan.
Selain lebih mendidik, program padat karya seperti itu lebih efektif mengentaskan kemiskinan. Program ini akan lebih “nendang” jika dipadukan dengan peningkatan subsidi di sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Dana hasil kenaikan BBM bersubsidi juga harus digunakan untuk membiayai program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) dan energi alternatif lainnya. Sebab, pengurangan atau penghapusan subsidi tak akan ada artinya jika kita masih bergantung pada BBM, sumber energi tak terbarukan yang akan semakin mahal dan langka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar