Mana yang lebih murah, beli
(mendatangkan) jeruk dari Medan atau beli (mendatangkan) jeruk dari China.
Jawabannya jelas, mendatangkan Jeruk dari Mandarin jauh lebih murah
dibandingkan mendatangkan jeruk dari Medan. Apakah hal ini disebabkan oleh
rendahnya upah buruh di China?mungkin saja. Atau karena jeruk dari China adalah
barang imitasi?itu bisa juga. Tapi, alasan sebenarnya adalah biaya logistik
yang dikeluarkan eksportir dari China jauh lebih murah dibandingkan biaya
logistik produsen Indonesia.
Medan-Jakarta tentunya jauh lebih
dekat dibandingkan China-Jakarta. Tetapi, untuk membawa Jeruk dari
Medan-Jakarta, distributor harus melewati 70 jenis pungutan (dari yang formal
hingga liar) dan melewati jalan/pelabuhan yang kondisinya sangat jauh dari
layak, sehingga biaya logistik di Indonesia menjadi sangatlah mahal. Contoh
lainnya adalah, jika anda mengapalkan kontainer 40 feet dari
Teluk Bayur (Sumatera Barat) menuju Jakarta, maka anda harus meronggoh kocek
US$ 600, sedangkan biaya dari Singapura-Jakarta hanya membutuhkan US$ 185.
Jika anda mengapalkan jeruk anda
dari Medan menuju Jakarta, maka harap bersabar ketika memasuki Pelabuhan
Tanjung Priok. Waktu yang diperlukan untuk melakukan proses pemasukan barang di
pelabuhan Tanjung Priok rata rata mencapai 7 hari, lebih lama dari proses
kepabeanan yang memerlukan waktu 5,5 hari, sementara itu di Singapura hanya 1
hari, USA dan Jerman 2 hari, dan Jepang 3,1 hari.
Hal ini terjadi karena traffic di
Pelabuhan Tanjung Priok sudah sangat tinggi dan kapasitas pelabuhan Tanjung
Priok sangatlah terbatas. Sebagai pelabuhan terbesar di Indonesia, ternyata
Tanjung Priok hanyalah liliput di bandingkan pelabihan dunia. Kapasitas
kontainer Tanjung Priok hanyalah 3,6 Juta teus. Bandingkan dengan Singapura
yang mencapai 28 juta teus, Belanda 11 Juta teus, dan Malaysia 6,5 juta teus.
Padahal Pelabuhan Tanjung Priok ini menopang 70% arus barang dan jasa di
Indonesia.
Tidak selesai dipermasalahan
pelabuhan. Buruknya infrastruktur di Indonesia juga meliputi akses jalan yang terbatas,
Bandar udara yang sudah overloaded, dan rel kereta api yang
sebagian besar masih peninggalan Belanda. Dan ironisnya lagi, banyak dari rel
kereta api Indonesia yang tidak terpakai. Saat ini di panjang rel kereta api di
Indonesia mencapai 7.883 Km, akan tetapi yang beroperasi hanya sepanjang 4.441
Km, sisa 3.442 Km dibiarkan menganggur.
Masalah kemacetan, khususnya di
Jakarta, juga disebabkan buruknya infrastruktur di Indonesia. Data menunjukkan
bahwa kecepatan tempuh rata-rata kendaraan pada jam sibuk di Jakarta hanya
mencapai 13-15 Km/jam, sangat jauh dibandingkan dengan kecepatan tempuh
perkotaan di kota-kota di Jepang (20 Km/jam) ataupun di Inggris (40 Km/jam)
(Parikesit, 2011).
Hal ini diperparah dengan kenyataan
semakin menjamurnya kendaraan bermotor di Jakarta. Menurut data Polda Metro
Jaya (2010), setiap tahunnya ada penambahan 364.810 unit sepeda motor dan
50.880 mobil baru di DKI Jakarta. Buruknya kualitas dan keamanan (maraknya
tindak criminal di angkutan kota) menyebabkan masyarakat memilih untuk
mengkonsumsi kendaraan pribadi dibandingkan naik kendaraan umum. Hal ini
terbukti bahwa saat ini pangsa pengguna angkutan umum terus menurun. Pada tahun
2002, share penggunaan angkutan umum untuk pergi ke tempat
kerja masih sebesar 38,3%, sedangkan pada tahun 2010 hanya 12,9% yang
menggunakan jasa angkutan umum (JUTPI, 2010).
Buruknya infrastruktur Indonesia
inilah yang selalu dikeluhkan oleh investor dan pebisnis Indonesia. Menurut
hasil survey, 30% pebisnis Indonesia di 240 Kabupaten/Kota sepakat bahwa
infrastruktur adalah hambatan utama dalam menjalankan bisnis di Indonesia.
Permasalahan infrastruktur ini menyebabkan high cost economy yang
pada akhirnya membuat konsumen tidak dapat menikmati harga barang yang murah.
Diperkirakan biaya logistik di Indonesia mencapai 27% dari nilai GDP, padahal
rata-rata negara maju dan berkembang hanya sebesar 10% dari GDP. Hal inilah
yang membuat produk Indonesia sulit berkompetisi dengan produk dari negara
lain.
2 Hambatan
Ada dua hambatan utama dalam pembangunan
infrastruktur, pertama ketersediaan lahan, kedua keterbatasan anggaran. Masalah
lahan menjadi momok utama dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Banyak
proyek infrastruktur yang tidak bisa berjalan akibat ada salah satu bagian
lahannya (yang bahkan hanya sebagian kecil) belum dapat dibebaskan.
Kedua adalah masalah pendanaan.
Membangun infrastruktur tentunya butuh dana. Dan mustahil bagi pemerintah untuk
menyediakan anggarannya. Menurut RPJMN 2010-2014, kebutuhan dana pembangunan
infrastruktur mencapai Rp.1400 Triliun. Yang bisa disediakan oleh pemerintah
(APBN) hanyalah Rp.600 Triliun. Sisa Rp.900 Triliun harus digantungkan kepada
BUMN dan Swasta. Yang jadi pertanyaan, apakah sektor swasta bersedia untuk
menanamkan modalnya di sektor infrastruktur Indonesia.
3 Harapan
Menyambut tahun 2012, ada harapan
besar yang dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. Pertama, adanya komitmen
pemerintah melalui MP3EI. Kedua, disahkannya UU Pengadaan Lahan Untuk
pembangunan Bagi Kepentingan Umum. Ketiga, dinaikkannya status Indonesia
menjadiinvestment grade oleh Finch.
Pemerintah berkomitmen untuk
melakukan percepatan pembangunan infrastruktur melalui MP3EI. Tidak tanggung
tanggung, ditargetkan hingga 2014, nilai investasi untuk infrastruktur mencapai
Rp.1700 Triliun. Komitmen inilah yang harus terus kita tagih ke Pemerintah.
Terselesaikannya UU Pengadaan Lahan
diharapkan dapat menuntaskan permasalahan lahan yang menghantui Indonesia
selama ini. Dalam UU ini diatur empat proses pengadaan lahan, yaitu
perencanaan, pengadaan , pelaksanaan dan penyerahan hasil. Menurut hasil
kalkulasi penulis, lama waktu yang ditargetkan oleh UU ini untuk membebaskan
paling cepat 238 hari, dan paling lama (dengan estimasi ada keberatan dari
pemilik lahan) mencapai 512 hari. Hal ini tentunya cukup melegakkan karena
selama ini untuk pembebasan lahan untuk proyek jalan tol membutuhkan waktu 4-5
tahun.
Finch baru saja menaikkan grade
Indonesia menjadi investment grade (BBB-). Diharapkan kenaikan
ini dapat memperderas arus modal asing ke Indonesia. Derasnya arus modal asing
ini bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mempercepat pembangunan infrastruktur.
Saat ini terdapat 79 proyek PPP (public private partnership)
infrastruktur senilai US$ 59 Milyar di Indonesia, dimana 13 diantaranya dalam
status “ready for offer projects” (PPP Book 2011, Bappenas). Jika modal asing
bisa diarahkan untuk membiayai keseluruhan proyek ini, tentunya akan menopang
upaya percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
2 pekerjaan rumah
Untuk mempercepat keseluruhan
proyek infrastruktur di Indonesia, setidaknya ada dua pekerjaan rumah yang
harus dilakukan. Pertama, segera menyelesaikan PP (Peraturan Pemerintah)
pelaksana dari UU Pengadaan lahan. Kedua, perbaikan dari skema PPP. Perbaikan skema
PPP bisa dimulai dari memperbaiki pipeline creation (penyusunan
daftar proyek) dari PPP. Dalam hal pipeline creation, komitmen
pemerintah masih dipertanyakan. Contohnya, dalam PPP Book 2011 yang diterbitkan
oleh Bappenas, proyek pembangunan Monorail Jakarta dicantumkan sebagai proyek
yang “already tendered”. Tapi, seperti yang kita tahu, Gubernur DKI Jakarta
justru membatalkan proyek tersebut. Hal ini tentunya harus dievaluasi
pemerintah, agar penetapan proyek PPP dilakukan dengan lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar