Berawal
dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu
per satu mata uang negara-negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan
perekonomian negara-negara di Asia yang banyak dipuji oleh banyak pihak
sebelumnya menjadi angin kosong belaka. Persis sebelum krisis ekonomi,World
Bank tahun 1997 menerbitkan laporan berjudul The Asian Miracle yang
menunjukkan kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata kesuksesan
pembangunan ekonomi di negara-negara Asia tersebut tidak berarti banyak
karena pada kenyataannya negara-negara tersebut tidak berdaya menghadapi
spekulan mata uang yang tinggi dan berujung pada krisis ekonomi.
Menyusul
jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk
mengatasi pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang
intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi
Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia
mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14%.
Akibat
kondisi ini bank-bank umum kemudian meminta bantuan BI sebagai lender
of the last resort. Ini merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan
bantuan kepada bank dalam situasi darurat. Dana talangan yang dikucurkan
oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI. Sesehat apa pun sebuah bank,
apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan sanggup
memenuhinya.
Penyimpangan
BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi kepada bank-bank umum
untuk mengikuti kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo debet.
Dispensasi diberikan kepada semua bank tanpa melakukan pre-audit untuk
mengetahui apakah bank tersebut benar-benar membutuhkan bantuan
likuiditas dan kondisinya sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu
mengembalikan BLBI.
11 Juli 1997
Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8 persen) menjadi 304 (12 persen), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang ketat.
Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8 persen) menjadi 304 (12 persen), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang ketat.
14 Agustus 1997
Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut dana masyarakat.
Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut dana masyarakat.
1 September 1997
Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.
Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.
3 September 1997
Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil pertemuan: pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil pertemuan: pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
1 November 1997
16 bank dilikuidasi.
16 bank dilikuidasi.
26 Desember 1997
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah. Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan surat berharga pasar uang (SBPU) khusus.
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah. Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan surat berharga pasar uang (SBPU) khusus.
27 Desember 1997
Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997 yang ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank yang tutup dan dinyatakan bangkrut.
Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997 yang ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank yang tutup dan dinyatakan bangkrut.
10 April 1998
Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan batas waktu pelaksanaan 22 April 1998
Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan batas waktu pelaksanaan 22 April 1998
Mei 1998
BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun, dana penjaminan antarbank Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun, BCA Rp 26,596 triliun, Danamon Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun.
BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun, dana penjaminan antarbank Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun, BCA Rp 26,596 triliun, Danamon Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun.
4 Juni 1998
Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima di dunia internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).
Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima di dunia internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).
21 Agustus 1998:
Pemerintah memberikan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu.
21 September 1998:
Tenggat berlalu begitu saja. Boro-boro ancaman pidana, sanksi administratif pun tak terdengar.
26 September 1998:
Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian BLBI dari sebulan menjadi lima tahun.
27 September 1998:
Menteri
Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita
meralat angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah minta pola
pembayaran BLBI tunai dalam tempo setahun.
18 Oktober 1998:
Hubert Neiss melayangkan surat keberatan. Dia minta pelunasan lima tahun.
10 November 1998:
10 November 1998:
Pengembalian
BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan
dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama. Jumlah kewajiban BLBI dari BTO
(bank take-over) dan BBO (bank beku operasi) saat itu adalah Rp 111,29
triliun.
8 Januari 1999:
Pemerintah
menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun sebagai tambahan
penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang
dialihkan ke BPPN.
6 Februari 1999:
BI dan Menkeu membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on cessie) BLBI dari BI kepada pemerintah senilai Rp 144,53 triliun
8 Februari 1999:
Penerbitan Surat Utang Pemerintah No SU-001/MK/1998 dan No SU-003/MK/1998.
13 Maret 1999:
Pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan merekapitalisasi 7 bank
Februari 1999:
DPR RI membentuk Panja BLBI
19 Februari 1999:
Ketua
BPKP Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan dana BLBI oleh para
bank penerima. Potensi kerugian negara sebesar Rp 138,44 triliun
(95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan.
13 Maret 1999:
Pemerintah mengumumkan pembekuan usaha (BBKU) 38 bank.
14 Maret 1999:
Pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah.
17 Mei 1999:
UU
No. 23/1999 tentang Bank Indonesia ditandatangani Presiden Habibie.
Dalam UU itu disebutkan bahwa BI hanya dapat diaudit oleh BPK, dan
direksi BI tak dapat diganti oleh siapa pun.
1 September – 7 Desember 1999:
BPK
mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan menemukan bahwa jumlah BLBI
yang dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp 75 triliun, sedangkan Rp 89
triliun tidak dapat dipertangggungjawabkan. BPK menyatakan disclaimer
laporan keuangan BI. Tapi, pejabat BI menolak hasil audit. Alasannya,
dana BLBI itu dikeluarkan atas keputusan kabinet.
28 Desember 1999:
Pemerintah melalui Kepala BPPN Glen Yusuf memperpanjang masa berlaku program penjaminan terhadap kewajiban bank.
Desember 1999:
BPK
telah menyelesaikan audit BI dan terdapat selisih dari dana BLBI
sebesar Rp 51 triliun yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada BI,
terutama karena penggunaannya tidak dapat dipertanggung jawabkan.
5 Januari 2000:
Ada
perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI. Pemerintah menyebut
BLBI sebesar Rp 144,5 triliun plus Rp 20 triliun untuk menutup kerugian
Bank Exim (Mandiri). Tapi, menurut BI, masih ada Rp 51 triliun dana BLBI
yang harus ditalangi pemerintah. Dana sebanyak itu diberikan BI kepada
bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama November
1997-Januari 1998.
10 Januari 2000:
Bocoran
hasil audit KPMG yang ditunjuk BPK untuk mengaudit neraca awal BI
beredar di kalangan wartawan. Audit itu menemukan bahwa penyelewengan
BLBI berjumlah Rp 80,25 triliun.
29 Januari 2000:
Audit
BPK menemukan fakta bahwa 95,78 persen dari BLBI sebesar Rp 144,54
triliun berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggung jawabkan.
Ttersangka dalam kasus cessie Bank Bali.
21 Juni 2000:
Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, ditahan Kejaksaan Agung dengan status sebagai tersangka.
9 Oktober 2000:
Ketua
BPK Billy Judono mengatakan bahwa BLBI sudah diberikan oleh BI sejak
1991 hingga 1996. Jadi, tidak benar bahwa BI hanya bertanggung jawab
saat krisis saja.
18 Oktober 2000:
Komisi
IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah BLBI yang ditanggung BI
hanya sebesar Rp 24,5 triliun. “Jumlah ini merendahkan hasil audit
BPK,” kata anggota dewan.
26 Oktober 2000:
Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligor agar mereka punya kesempatan melunasi dana BLBI.
1 November 2000:
DPR,
Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian
beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan
Awal November 2000:
Sumber
di BI menyatakan, tanggung jawab BI terhadap BLBI hanya Rp 48 triliun,
terhitung sejak 3 September 1997-29 Januari 1999, bukan sebelum dan
sesudahnya
2 November 2000:
BPK
mengancam BI akan memberikan opini wajar dengan pengecualian terhadap
laporan neraca BI jika dana BLBI tidak dapat dituntaskan.
17 November 2000:
Pukul
16.30, pejabat teras BI menyatakan mundur serentak. Mereka yang mundur
adalah Deputi Senior Gubernur Anwar Nasution, Deputi Gubernur Miranda
Goeltom, Dono Iskandar, Achwan, dan Baharuddin Abdullah, dengan alasan
tak mendapat dukungan politik pemerintah dan DPR. Sedangkan Syahril
Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak mundur. Pokok-pokok
Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan BI ditetapkan. Berdasarkan
kesepakatan ini, BI menanggung beban Rp 24,5 triliun dan sisanya menjadi
beban Pemerintah.
3 Januari 2001:
Dua
Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata ditingkatkan berkasnya ke
penyidikan berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam penyalahgunaan
dana BLBI
7 Maret 2001:
DPR
mengusulkan pembentukan Pansus BLBI DPR. Pembentukan Pansus ini dipicu
oleh pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang menyebutkan
pemerintah belum menyepakati jumlah tanggungan BI sebesar Rp 24,5
miliar.
10 Maret 2001:
Pemilik BUN Kaharuddin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI
22 Maret 2001:
Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI.
29 Maret 2001:
Kejagung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri (Jusup Kartadibrata), Presider Bank Aspac (Setiawan Harjono).
2 April 2001:
Pelaksanaan
Program Penjaminan dana nasabah yang semula diatur melalui SKB antara
BI dan BPPN diubah dengan SK BPPN No 1036/BPPN/0401 tahun 2001.
9 April 2001:
Dirut
BDNI Sjamsul Nursalim yang bersatus tersangka penyelewengan dana BLBI
dicekal Kejaksaan Agung. Selain Sjamsul, David Nusawijaya (Sertivia) dan
Samandikun Hartono (Bank Modern) juga dicekal.
30 April 2001:
Kejagung
membebaskan David Nusawijaya, tersangka penyelewengan BLBI. Selain itu,
Kejagung juga mencekal 8 pejabat bank Dewa Rutji selama 1 tahun.
2 Mei 2001:
Kejagung
membebaskan 2 tersangka penyelewengan BLBI (Samandikun Hartono dan
Kaharuddin Ongko) dan mengubah statusnya menjadi tahanan rumah.
19 Juni 2001:
Wapresider
Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan
dikenai denda Rp 500 juta. Ia didakwa telah merugikan negara sebesar Rp
583,4 miliar
21 Juni 2001:
Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di gedung Bundar oleh aparat Kejagung.
31 Mei 2002:
Tim
Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan menyampaikan Laporan
Pemeriksaan Kepatuhan Anthony Salim, Andre Salim dan Sudono Salim untuk
memenuhi Kewajiban-kewajibannya dalam MSAA tanggal 21 September 1998.
Dalam bagian kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski telah
memenuhi sebagian besar kewajiban-kewajibannya, namun secara yuridis
formal telah terjadi pelanggaran, atau kelalaian atau cidera janji atau
ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibannya dalam MSAA yang berpotensi
merugikan BPPN.
2004:
Sampai
2004, pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri
mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada lima obligor MSAA dan
17 obligor PKPS APU padahal mereka belum lunas membayar utang mereka.
11 Januari 2007:
Dua
petinggi Salim Grup (Anthony Salim dan Beny Setiawan) menjalani
pemeriksaan di Mabes Polri atas tuduhan telah menggelapkan aset yang
telah diserahkan kepada BPPN sebagai bagian pembayaran utangnya. Aset
yang digelapkan itu meliputi tanah, bangunan pabrik dan mesin-mesin di
perusahaan gula Sugar Grup.
19 Februari 2007:
Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR
RI di Gedung MPR/DPR RI menegaskan terhadap 8 obligor yang bermasalah,
pemerintah akan menggunakan kesepakatan awal APU plus denda. “Kami tetap
akan menjalankan sesuai keyakinan pemerintah bahwa mereka (delapan
obligor BLBI, red) default. Tagihan kepada mereka adalah Rp 9,3
triliun,” tegasnya. Kedelapan obligor itu adalah James Sujono Januardhi
dan Adisaputra Januardhy (Bank Namura), Ulung Bursa (Bank Lautan
Berlian), Lidia Muchtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra
Multikarsa), Omar Putihrai (Bank Tamara), Atang Latief (Bank Bira), dan
Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat).
18 September 2007:
Sejumlah anggota DPR mengajukan hak Interpelasi mengenai BLBI kepada Pimpinan DPR.
4 Desember 2007:
Rapat Paripurna DPR menyetujui Hak Interpelasi Atas Penyelesaian KLBI dan BLBI yang diajukan 62 pengusul.
21 Januari 2008:
Ormas-ormas
Islam yang tergabung dalam “Jihad Melawan Koruptor BLBI” memberikan
penghargaan terhadap sejumlah anggota DPR yang dinilai benar-benar
serius hendak mengungkap kasus BLBI.
28 Januari 2008:
DPR
– RI secara resmi mengirimkan surat kepada Presiden RI agar memberikan
keterangan di depan Rapat Paripurna DPR sekaitan Hak Interpelasi atas
penyelesaian KLBI dan BLBI.
29 Januari 2008:
Ratusan
orang yang tergabung dalam GEMPUR berunjuk rasa di depan gedung DPR.
Mereka curiga ada anggota DPR yang menjadi beking para obligor BLBI.
12 Februari 2008:
Pemerintah
yang diwakili Menko Perekonomian Boediono menyampaikan jawaban
pemerintah terhadap 10 pertanyaan terkait penyelesaian BLBI di depan
Rapat Paripurna DPR. Ketika membacakan keterangan, lebih separuh anggota
dewan meninggalkan ruang sidang. Pada awalnya, Rapat Paripurna diwarnai
hujan interupsi yang mempersoalkan ketidakhadiran SBY dan lembaran
jawaban yang hanya ditandatangani Boediono saja.
29 Februari 2008:
Jaksa
Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, menyatakan Tim 35 yang
melakukan penyelidikan kasus ini BLBI I dan BLBI II tidak menemukan
adanya pelanggaran pidana yang dilakukan Anthony Salim dan Sjamsul
Nursalim. Menurut Kemas Yahya, sesuai dengan surat penyelesaian utang
Master Settlement for Acquisition Agreement atau MSAA, kewajiban debitor
kepada pemerintah dianggap selesai jika aset yang dinilai sesuai dengan
kewajiban dan diserahkan kepada pemerintah. “Kami sudah berbuat
semaksimal mungkin dan kami kaitkan dengan fakta perbuatannya. Hasilnya
tidak ditemukan perbuatan melanggar hukum yang mengarah pada tindakan
korupsi,” kata Kemas Yahya Rachman.
2 Maret 2008:
Jaksa
Urip Tri Gunawan yang menjadi ketua Tim Jaksa BLBI II dicokok aparat
KPK seusai bertandang ke rumah milik pengusaha Syamsul Nursalim di Jalan
Hang Lekir, Jakarta Selatan, Dari tangan Urip, penyidik KPK menyita
uang sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. Uang ini diduga
sebagai uang suap terkait kasus BLBI. Selain Urip, KPK juga menahan
Artalyta Suryani, seorang pengusaha yang diketahui dekat dengan Sjamsul
Nursalim dan juga Anthony Salim.
2 Maret 2008:
Wacana perguliran tentang hak angket mulai mengemuka di kalangan anggota DPR menyusul tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan.
8 Maret 2008:
Guru
Besar Hukum Pidana Internasional Unpad Bandung, Romli Atmasasmita.
mengusulkan agar KPK mengambil alih pengusutan BLBI. Menurut dia, kasus
BLBI telah masuk ranah pidana, karena obligor yang tidak membayar
menyebabkan negara rugi. Selain itu, ada unsur penipuan di dalamnya,
karena tidak ada niat dari obligor nakal untuk melunasi utangnya. Saran
ini mengacu pada pasal 8 ayat 2 UU KPK yang memberi wewenang KPK
mengambil alih penyidikan atau penuntutan pelaku tindak pidana korupsi
yang sedang dilakukan polisi atau jaksa.
10 Maret 2008:
Usulan
hak angket kasus BLBI sudah diedarkan kepada para anggota DPR. Usulan
hak angket dimunculkan karena langkah penyelesaian kasus BLBI secara
hukum yang dirintis Kejaksaan Agung ternyata berakhir antiklimaks.
Kejagung menghentikan penyelidikan kasus yang diduga melibatkan sejumlah
pengusaha kelas kakap itu. “Apalagi dengan adanya jaksa yang tertangkap
tangan menerima suap. Inilah yang menyebabkan kami akan menggunakan hak
angket,” ujar Dradjad Wibowo, anggota DPR dari Fraksi PAN
13 Maret 2008:
Empat
orang inisiator hak angket BLBI, Soeripto, Dradjad Wibowo, Abdullah
Azwar Anas dan Ade Daud Nasution secara resmi menyerahkan draft hak
angket kasus BLBI ke pimpinan DPR, Draft tersebut diterima langsung oleh
Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di ruang kerjanya. Sebanyak 55
anggota DPR telah memberikan tanda tangan sebagai bentuk dukungan.
6 Mei 2008:
Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat
Antikorupsi Indonesia terhadap surat perintah penghentian penyidikan
(SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung atas kasus Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim. Kejaksaan Agung langsung
menyatakan banding.
Analisis Kasus
1. Pelaku di dalam Kasus BLBI
Pelaku
dari kasus aliran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia adalah
bankir-bankir itu sendiri. Mereka “nakal”, tidak mau mengembalikan dana
BLBI. Hal ini menimbulkan indikasi bahwa memang ada penyewelengan
bantuan dana itu. Berikut beberapa data mengenai hal tersebut.
Diantaranya adalah:
1. Daftar bankir yang diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):
a. Atang Latief (Bank Indonesia Raya – hutang 325,46 miliar);
b. James Januardy (Bank Namura Internasional – hutang 123,04 miliar);
c. Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian – hutang 615 miliar);
d. Lidia Mochtar (Bank Tamara – hutang 202,80 miliar);
e. Omar Putirai (Bank Tamara – hutang 190,17 miliar);
f. Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa – hutang 1.130,61 triliun).
Sumber: Koran Tempo, 18 Oktober 2004
2. Daftar bankir yang diserahkan ke Kepolisian:
a. Baringin Panggabean (Bank Namura Internusa – APU (Akta Pengakuan Utang) – 158,93 miliar);
b. Santosa Sumali (B.Metropolitan – APU – 46,55 miliar);
c. Fadel Muhammad (Bank Intan – APU – 93,28 miliar);
d. Santosa Sumali (B. Bahari – APU – 295,05 );
e. Trijono Gondokusumo (Bank PSP – APU – 3.3031,11 triliun);
f. Hengky Widjaya (Bank Tata – APU – 461,99 miliar);
g. Taony Tanjung I Gde Dermawan (Bank Aken – APU – 680,89 miliar);
h. Tarunojoyo Nusa (Bank Umum Servitia-APU-3.336, 44 triliun);
i. David Nusa Widjaya Kaharuddin Ongko (BUN – MRNIA (Master Refinancing and Notes Insurance Agreement) – 8.348 triliun);
j. Samadikun H. (Bank Modern – MRNIA – 2.663 triliun).
Sumber: Koran Tempo, 18 Oktober 2004
Data
di atas menunjukkan bahwa memang para bankir itu terindikasi melakukan
penyelewengan dana BLBI. Polisi dan KPK masing-masing menyelidiki jika
terdapat unsur-unsur korupsi terhadap bankir-bankir tersebut.
2. Kualifikasi Kasus BLBI
BLBI
itu termasuk kejahatan korupsi, bukan kejahatan perbankan biasa karena
terdapat unsur-unsur yang mendukung hal itu. Salah satunya adalah
disuapnya Ketua Tim Jaksa Kasus BLBI, Urip Tri Gunawan oleh Syamsul
Nursalim di kediamannya. Padahal, Syamsul Nursalim merupakan obligor
dari BDNI terkait BLBI. Terlihat bahwa Syamsul menyuap Urip sebagai
syarat agar kasusnya “dilepas”. Jadi, disini unsur korupsinya yaitu
penyuapan.
Kemudian,
merujuk ke belakang dimana saat-saat pertama kasus ini mencuat,
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi juga. Karena kasus ini
berawal dari tahun 1997, maka ketentuan peraturan perundang-undangan
yang digunakan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Unsur
korupsi lainnya terpenuhi, yaitu memperkaya diri sendiri. Hal ini
menyebabkan negara merugi karena dana BLBI yang seharusnya dikembalikan
malah hilang entah kemana dan tidak dikembalikan. Seperti tercantum
dalam pasal 1 ayat (1) angka {a} yang berbunyi, “Dihukum karena tindak
pidana korupsi ialah: barangsiapa dengan melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan,
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan
atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya
bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara .”
Jelaslah,
ternyata kasus aliran dana BLBI itu adalah masuk ke dalam ranah pidana,
yaitu kejahatan korupsi. Unsur-unsur tindak pidana korupsi pun
terpenuhi (meskipun tidak semuanya). Adalah memperkaya diri dan
penyuapan.
3. Penghentian Kasus BLBI
Kasus
ini tidak dapat dihentikan hanya dengan membayar/mengembalikan dana
BLBI oleh para obligor. Hal ini dikarenakan, pengembalian uang negara
itu tidak akan menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.
Sesuai
dengan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
yang menyatakan bahwa: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanya pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 2 dan Pasal 3.”
Lebih
lanjut di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut,
pasal 4 menyebut bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Oleh
karena itu, kasus BLBI tidak bisa selesai hanya dengan mengembalikan
dana BLBI kepada pemerintah melalu Bank Indonesia oleh bankir-bankir
bank yang bermasalah.
4. Peraturan Perundang-undangan Untuk Menjerat Pelaku Kasus BLBI dan Proses Penyelesaiannya
Ketentuan
peraturan perundang-undangan yang dapat menjerat para pelaku di balik
kasus BLBI adalah ketentuan di dalam Undang-undang No.3 Tahun 1971
(pasal 1 ayat (1) angkat {a} dan {b}) Juncto Undang-undang No.31 Tahun
1999 (pasal 2 ayat (1), pasal 3, dan pasal 4).
Selain
dijerat oleh ketiga Undang-undang korupsi di atas, juga bisa oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penyertaan, percobaan,
maupun penyitaan (pasal 39 KUHP).
Untuk proses penyelesaiannya, bisa menggunakan Undang-undang Darurat
Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi maupun Undang-undang No.3 Tahun 1971 Juncto Undang-undang No.31 Tahun 1999.
Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi maupun Undang-undang No.3 Tahun 1971 Juncto Undang-undang No.31 Tahun 1999.
5. Pendapat Saya
Setelah
membaca kronologinya dan menganalisis kasus BLBI, semakin jelaslah
sebenarnya bagaimana murat maritnya sistem birokrasi negeri ini. Saya
sempat berpikir heran, mengapa Mendiang Presiden Soeharto dengan enaknya
menerapkan langkah-langkah yang mencengangkan untuk mengatasi krisis
moneter pada tahun 1997 – Mei 1998. Diantaranya yaitu tadi, melikuidasi
16 bank, membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas alias
dana BLBI, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi.
Dulu,
zaman tahun 1997 – 1998, pers masih belum sebebas sekarang. Jadi saya
dan jutaan masyarakat Indonesia lainnya tentu sangat awam atau tidak
familiar dengan kebijakan-kebijakan ekonomi. Hanyalah Pemerintah,
anggota DPR dan pakar-pakar ekonomilah yang sangat mengerti masalah
ekonomi. Coba lihat pers sekarang, sangat bebas dan pro rakyat.
Tayangan-tayangan berita atau tulisan di surat kabar sangat membantu
kita untuk mengetahui dengan jelas kondisi kenegaraan kita ini, baik itu
di bidang ekonomi, hukum dan perundang-undangan serta lain sebagainya.
Kadang ada juga yang menginvestigasi beritanya itu sampai ke
akar-akarnya. Walaupun saya yakin birokrasi negeri ini tetap bobrok,
tapi setidaknya pers dan media lainnya sudah memberitakan yang terbaik
untuk perubahan negeri ini.
Kembali
ke topik, jadi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) lahir karena
untuk mengatasi masalah ini, yaitu menutupi talangan hutang luar negeri
yang dilakukan para bankir tersebut.
Bank
yang banyak menjamur sebagai akibat kebijakan deregulasi perbankan di
masa orde baru akhirnya runtuh dan jatuh bangkrut, serta tetap tidak
kuat menahan nilai mata uang rupiah yang anjlok, juga sektor
perekonomian kita (industrialisasi yang dibantu oleh kredit bank) yang
berantakan akibat kredit macet. Kredit macet itu saling berkaitan
seperti tali temali, antara industri terhadap bank, bank terhadap
pemerintah, pemerintah terhadap bantuan asing, sehingga menambah beban
hutang luar negeri kita dengan total menjadi 600 triliun. Akhirnya
banyak bank yang diambil alih pemerintah dan kemudian dijual kembali di
bursa saham setelah sehat atau merger (digabungkan). Ada juga yang
dinyatakan bangkrut dan hilang tak tentu rimbanya (begitu pula
pemiliknya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar