Kronologi Kasus BLBI

 on 05/11/12  

Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per satu mata uang negara-negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-negara di Asia yang banyak dipuji oleh banyak pihak sebelumnya menjadi angin kosong belaka. Persis sebelum krisis ekonomi,World Bank tahun 1997 menerbitkan laporan berjudul The Asian Miracle yang menunjukkan kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata kesuksesan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia tersebut tidak berarti banyak karena pada kenyataannya negara-negara tersebut tidak berdaya menghadapi spekulan mata uang yang tinggi dan berujung pada krisis ekonomi.
Menyusul jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14%.
Akibat kondisi ini bank-bank umum kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort. Ini merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI. Sesehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan sanggup memenuhinya.
Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi kepada bank-bank umum untuk mengikuti kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan kepada semua bank tanpa melakukan pre-audit untuk mengetahui apakah bank tersebut benar-benar membutuhkan bantuan likuiditas dan kondisinya sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI.
11 Juli 1997
Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8 persen) menjadi 304 (12 persen), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang ketat.
14 Agustus 1997
Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut dana masyarakat.
1 September 1997
Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.
3 September 1997
Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil pertemuan: pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
1 November 1997
16 bank dilikuidasi.
26 Desember 1997
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah. Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan surat berharga pasar uang (SBPU) khusus.
27 Desember 1997
Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997 yang ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank yang tutup dan dinyatakan bangkrut.
10 April 1998
Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan batas waktu pelaksanaan 22 April 1998
Mei 1998
BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun, dana penjaminan antarbank Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun, BCA Rp 26,596 triliun, Danamon Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun.
4 Juni 1998
Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima di dunia internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).
21 Agustus 1998:
Pemerintah memberikan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu.
21 September 1998:
Tenggat berlalu begitu saja. Boro-boro ancaman pidana, sanksi administratif pun tak terdengar.
26 September 1998:
Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian BLBI dari sebulan menjadi lima tahun.
27 September 1998:
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita meralat angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah minta pola pembayaran BLBI tunai dalam tempo setahun.
18 Oktober 1998:
Hubert Neiss melayangkan surat keberatan. Dia minta pelunasan lima tahun.
10 November 1998:
Pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama. Jumlah kewajiban BLBI dari BTO (bank take-over) dan BBO (bank beku operasi) saat itu adalah Rp 111,29 triliun.
8 Januari 1999:
Pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun sebagai tambahan penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN.
6 Februari 1999:
BI dan Menkeu membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on cessie) BLBI dari BI kepada pemerintah senilai Rp 144,53 triliun
8 Februari 1999:
Penerbitan Surat Utang Pemerintah No SU-001/MK/1998 dan No SU-003/MK/1998.
13 Maret 1999:
Pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan merekapitalisasi 7 bank
Februari 1999:
DPR RI membentuk Panja BLBI
19 Februari 1999:
Ketua BPKP Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan dana BLBI oleh para bank penerima. Potensi kerugian negara sebesar Rp 138,44 triliun (95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan.
13 Maret 1999:
Pemerintah mengumumkan pembekuan usaha (BBKU) 38 bank.
14 Maret 1999:
Pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah.
17 Mei 1999:
UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia ditandatangani Presiden Habibie. Dalam UU itu disebutkan bahwa BI hanya dapat diaudit oleh BPK, dan direksi BI tak dapat diganti oleh siapa pun.
1 September – 7 Desember 1999:
BPK mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan menemukan bahwa jumlah BLBI yang dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp 75 triliun, sedangkan Rp 89 triliun tidak dapat dipertangggungjawabkan. BPK menyatakan disclaimer laporan keuangan BI. Tapi, pejabat BI menolak hasil audit. Alasannya, dana BLBI itu dikeluarkan atas keputusan kabinet.
28 Desember 1999:
Pemerintah melalui Kepala BPPN Glen Yusuf memperpanjang masa berlaku program penjaminan terhadap kewajiban bank.
Desember 1999:
BPK telah menyelesaikan audit BI dan terdapat selisih dari dana BLBI sebesar Rp 51 triliun yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada BI, terutama karena penggunaannya tidak dapat dipertanggung jawabkan.
5 Januari 2000:
Ada perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI. Pemerintah menyebut BLBI sebesar Rp 144,5 triliun plus Rp 20 triliun untuk menutup kerugian Bank Exim (Mandiri). Tapi, menurut BI, masih ada Rp 51 triliun dana BLBI yang harus ditalangi pemerintah. Dana sebanyak itu diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama November 1997-Januari 1998.
10 Januari 2000:
Bocoran hasil audit KPMG yang ditunjuk BPK untuk mengaudit neraca awal BI beredar di kalangan wartawan. Audit itu menemukan bahwa penyelewengan BLBI berjumlah Rp 80,25 triliun.
29 Januari 2000:
Audit BPK menemukan fakta bahwa 95,78 persen dari BLBI sebesar Rp 144,54 triliun berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggung jawabkan. Ttersangka dalam kasus cessie Bank Bali.
21 Juni 2000:
Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, ditahan Kejaksaan Agung dengan status sebagai tersangka.
9 Oktober 2000:
Ketua BPK Billy Judono mengatakan bahwa BLBI sudah diberikan oleh BI sejak 1991 hingga 1996. Jadi, tidak benar bahwa BI hanya bertanggung jawab saat krisis saja.
18 Oktober 2000:
Komisi IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah BLBI yang ditanggung BI hanya sebesar Rp 24,5 triliun. “Jumlah ini merendahkan hasil audit BPK,” kata anggota dewan.
26 Oktober 2000:
Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligor agar mereka punya kesempatan melunasi dana BLBI.
1 November 2000:
DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan
Awal November 2000:
Sumber di BI menyatakan, tanggung jawab BI terhadap BLBI hanya Rp 48 triliun, terhitung sejak 3 September 1997-29 Januari 1999, bukan sebelum dan sesudahnya
2 November 2000:
BPK mengancam BI akan memberikan opini wajar dengan pengecualian terhadap laporan neraca BI jika dana BLBI tidak dapat dituntaskan.
17 November 2000:
Pukul 16.30, pejabat teras BI menyatakan mundur serentak. Mereka yang mundur adalah Deputi Senior Gubernur Anwar Nasution, Deputi Gubernur Miranda Goeltom, Dono Iskandar, Achwan, dan Baharuddin Abdullah, dengan alasan tak mendapat dukungan politik pemerintah dan DPR. Sedangkan Syahril Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak mundur. Pokok-pokok Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan BI ditetapkan. Berdasarkan kesepakatan ini, BI menanggung beban Rp 24,5 triliun dan sisanya menjadi beban Pemerintah.
3 Januari 2001:
Dua Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata ditingkatkan berkasnya ke penyidikan berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam penyalahgunaan dana BLBI
7 Maret 2001:
DPR mengusulkan pembentukan Pansus BLBI DPR. Pembentukan Pansus ini dipicu oleh pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang menyebutkan pemerintah belum menyepakati jumlah tanggungan BI sebesar Rp 24,5 miliar.
10 Maret 2001:
Pemilik BUN Kaharuddin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI
22 Maret 2001:
Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI.
29 Maret 2001:
Kejagung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri (Jusup Kartadibrata), Presider Bank Aspac (Setiawan Harjono).
2 April 2001:
Pelaksanaan Program Penjaminan dana nasabah yang semula diatur melalui SKB antara BI dan BPPN diubah  dengan SK BPPN No 1036/BPPN/0401 tahun 2001.
9 April 2001:
Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang bersatus tersangka penyelewengan dana BLBI dicekal Kejaksaan Agung. Selain Sjamsul, David Nusawijaya (Sertivia) dan Samandikun Hartono (Bank Modern) juga dicekal.
30 April 2001:
Kejagung membebaskan David Nusawijaya, tersangka penyelewengan BLBI. Selain itu, Kejagung juga mencekal 8 pejabat bank Dewa Rutji selama 1 tahun.
2 Mei 2001:
Kejagung membebaskan 2 tersangka penyelewengan BLBI (Samandikun Hartono dan Kaharuddin Ongko) dan mengubah statusnya menjadi tahanan rumah.
19 Juni 2001:
Wapresider Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan dikenai denda Rp 500 juta. Ia didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 583,4 miliar
21 Juni 2001:
Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di gedung Bundar oleh aparat Kejagung.
31 Mei 2002:
Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan menyampaikan Laporan Pemeriksaan Kepatuhan Anthony Salim, Andre Salim dan Sudono Salim untuk memenuhi Kewajiban-kewajibannya dalam MSAA tanggal 21 September 1998. Dalam bagian kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski telah memenuhi sebagian besar kewajiban-kewajibannya, namun secara yuridis formal telah terjadi pelanggaran, atau kelalaian atau cidera janji atau  ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibannya dalam MSAA yang berpotensi merugikan BPPN.
2004:
Sampai 2004, pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri  mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada lima obligor MSAA dan 17 obligor PKPS APU padahal mereka belum lunas membayar utang mereka.
11 Januari 2007:
Dua petinggi Salim Grup (Anthony Salim dan Beny Setiawan) menjalani pemeriksaan di Mabes Polri atas tuduhan telah menggelapkan aset yang telah diserahkan kepada BPPN sebagai bagian pembayaran utangnya. Aset yang digelapkan itu meliputi tanah, bangunan pabrik dan mesin-mesin di  perusahaan gula Sugar Grup.
19 Februari 2007:
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung MPR/DPR RI menegaskan terhadap 8 obligor yang bermasalah, pemerintah akan menggunakan kesepakatan awal APU plus denda. “Kami tetap akan menjalankan sesuai keyakinan pemerintah bahwa mereka (delapan obligor BLBI, red) default. Tagihan kepada mereka adalah Rp 9,3 triliun,” tegasnya. Kedelapan obligor itu adalah James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy (Bank Namura), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Lidia Muchtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa), Omar Putihrai (Bank Tamara), Atang Latief (Bank Bira), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat).
18 September 2007:
Sejumlah anggota DPR mengajukan hak Interpelasi mengenai BLBI  kepada Pimpinan DPR.
4 Desember 2007:
Rapat Paripurna DPR menyetujui Hak Interpelasi Atas Penyelesaian KLBI dan BLBI yang diajukan 62 pengusul.
21 Januari 2008:
Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam “Jihad Melawan Koruptor BLBI” memberikan penghargaan terhadap sejumlah anggota DPR yang dinilai benar-benar serius hendak mengungkap kasus BLBI.
28 Januari 2008:
DPR – RI secara resmi mengirimkan surat kepada Presiden RI agar memberikan keterangan di depan Rapat Paripurna DPR sekaitan Hak Interpelasi atas penyelesaian KLBI dan BLBI.
29 Januari 2008:
Ratusan orang yang tergabung dalam GEMPUR berunjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka curiga ada anggota DPR yang menjadi beking para obligor BLBI.
12 Februari 2008:
Pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian Boediono menyampaikan jawaban pemerintah terhadap 10 pertanyaan terkait penyelesaian BLBI di depan Rapat Paripurna DPR. Ketika membacakan keterangan, lebih separuh anggota dewan meninggalkan ruang sidang. Pada awalnya, Rapat Paripurna diwarnai hujan interupsi yang mempersoalkan ketidakhadiran SBY dan lembaran jawaban yang hanya ditandatangani Boediono saja.
29 Februari 2008:
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, menyatakan Tim 35 yang melakukan penyelidikan kasus ini BLBI I dan BLBI II tidak menemukan adanya pelanggaran pidana yang dilakukan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim. Menurut Kemas Yahya, sesuai dengan surat penyelesaian utang Master Settlement for Acquisition Agreement atau MSAA, kewajiban debitor kepada pemerintah dianggap selesai jika aset yang dinilai sesuai dengan kewajiban dan diserahkan kepada pemerintah. “Kami sudah berbuat semaksimal mungkin dan kami kaitkan dengan fakta perbuatannya. Hasilnya tidak ditemukan perbuatan melanggar hukum yang mengarah pada tindakan korupsi,” kata Kemas Yahya Rachman.
2 Maret 2008:
Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjadi ketua Tim Jaksa BLBI II dicokok aparat KPK seusai bertandang ke rumah milik pengusaha Syamsul Nursalim di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, Dari tangan Urip, penyidik KPK menyita uang sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. Uang ini diduga sebagai uang suap terkait kasus BLBI. Selain Urip, KPK juga menahan Artalyta Suryani, seorang pengusaha yang diketahui dekat dengan Sjamsul Nursalim dan juga Anthony Salim.
2 Maret 2008:
Wacana perguliran tentang hak angket mulai mengemuka di kalangan anggota DPR menyusul tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan.
8 Maret 2008:
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad Bandung, Romli Atmasasmita. mengusulkan agar KPK mengambil alih pengusutan BLBI. Menurut dia, kasus BLBI telah masuk ranah pidana, karena obligor yang tidak membayar menyebabkan negara rugi. Selain itu, ada unsur penipuan di dalamnya, karena tidak ada niat dari obligor nakal untuk melunasi utangnya. Saran ini mengacu pada pasal 8 ayat 2 UU KPK yang memberi wewenang KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan polisi atau jaksa.
10 Maret 2008:
Usulan hak angket kasus BLBI sudah diedarkan kepada para anggota DPR. Usulan hak angket dimunculkan karena langkah penyelesaian kasus BLBI secara hukum yang dirintis Kejaksaan Agung ternyata berakhir antiklimaks. Kejagung menghentikan penyelidikan kasus yang diduga melibatkan sejumlah pengusaha kelas kakap itu. “Apalagi dengan adanya jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Inilah yang menyebabkan kami akan menggunakan hak angket,” ujar Dradjad Wibowo, anggota DPR dari Fraksi PAN
13 Maret 2008:
Empat orang inisiator hak angket BLBI, Soeripto, Dradjad Wibowo, Abdullah Azwar Anas dan Ade Daud Nasution secara resmi menyerahkan draft hak angket kasus BLBI ke pimpinan DPR, Draft tersebut diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di ruang kerjanya. Sebanyak 55 anggota DPR telah memberikan tanda tangan sebagai bentuk dukungan.
6 Mei 2008:
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat Antikorupsi Indonesia terhadap surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung atas kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim. Kejaksaan Agung langsung menyatakan banding.
Analisis Kasus
1. Pelaku di dalam Kasus BLBI
Pelaku dari kasus aliran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia adalah bankir-bankir itu sendiri. Mereka “nakal”, tidak mau mengembalikan dana BLBI. Hal ini menimbulkan indikasi bahwa memang ada penyewelengan bantuan dana itu. Berikut beberapa data mengenai hal tersebut. Diantaranya adalah:
1.          Daftar bankir yang diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):
a.    Atang Latief (Bank Indonesia Raya – hutang 325,46 miliar);
b.    James Januardy (Bank Namura Internasional – hutang 123,04 miliar);
c.    Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian – hutang 615 miliar);
d.    Lidia Mochtar (Bank Tamara – hutang 202,80 miliar);
e.    Omar Putirai (Bank Tamara – hutang 190,17 miliar);
f.    Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa – hutang 1.130,61 triliun).
Sumber: Koran Tempo, 18 Oktober 2004
2.          Daftar bankir yang diserahkan ke Kepolisian:
a.    Baringin Panggabean (Bank Namura Internusa – APU (Akta Pengakuan Utang) – 158,93 miliar);
b.    Santosa Sumali (B.Metropolitan – APU – 46,55 miliar);
c.    Fadel Muhammad (Bank Intan – APU – 93,28 miliar);
d.    Santosa Sumali (B. Bahari – APU – 295,05 );
e.    Trijono Gondokusumo (Bank PSP – APU – 3.3031,11 triliun);
f.    Hengky Widjaya (Bank Tata – APU – 461,99 miliar);
g.    Taony Tanjung I Gde Dermawan (Bank Aken – APU – 680,89 miliar);
h.    Tarunojoyo Nusa (Bank Umum Servitia-APU-3.336, 44 triliun);
i.     David Nusa Widjaya Kaharuddin Ongko (BUN – MRNIA (Master Refinancing and Notes Insurance Agreement) – 8.348 triliun);
j.     Samadikun H. (Bank Modern – MRNIA – 2.663 triliun).
Sumber: Koran Tempo, 18 Oktober 2004
Data di atas menunjukkan bahwa memang para bankir itu terindikasi melakukan penyelewengan dana BLBI. Polisi dan KPK masing-masing menyelidiki jika terdapat unsur-unsur korupsi terhadap bankir-bankir tersebut.
2. Kualifikasi Kasus BLBI
BLBI itu termasuk kejahatan korupsi, bukan kejahatan perbankan biasa karena terdapat unsur-unsur yang mendukung hal itu. Salah satunya adalah disuapnya Ketua Tim Jaksa Kasus BLBI, Urip Tri Gunawan oleh Syamsul Nursalim di kediamannya. Padahal, Syamsul Nursalim merupakan obligor dari BDNI terkait BLBI. Terlihat bahwa Syamsul menyuap Urip sebagai syarat agar kasusnya “dilepas”. Jadi, disini unsur korupsinya yaitu penyuapan.
Kemudian, merujuk ke belakang dimana saat-saat pertama kasus ini mencuat, dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi juga. Karena kasus ini berawal dari tahun 1997, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Unsur korupsi lainnya terpenuhi, yaitu memperkaya diri sendiri. Hal ini menyebabkan negara merugi karena dana BLBI yang seharusnya dikembalikan malah hilang entah kemana dan tidak dikembalikan. Seperti tercantum dalam pasal 1 ayat (1) angka {a} yang berbunyi, “Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara .”
Jelaslah, ternyata kasus aliran dana BLBI itu adalah masuk ke dalam ranah pidana, yaitu kejahatan korupsi. Unsur-unsur tindak pidana korupsi pun terpenuhi (meskipun tidak semuanya). Adalah memperkaya diri dan penyuapan.
3. Penghentian Kasus BLBI
Kasus ini tidak dapat dihentikan hanya dengan membayar/mengembalikan dana BLBI oleh para obligor. Hal ini dikarenakan, pengembalian uang negara itu tidak akan menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.
Sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 2 dan Pasal 3.”
Lebih lanjut di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, pasal 4 menyebut bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Oleh karena itu, kasus BLBI tidak bisa selesai hanya dengan mengembalikan dana BLBI kepada pemerintah melalu Bank Indonesia oleh bankir-bankir bank yang bermasalah.
4. Peraturan Perundang-undangan Untuk Menjerat Pelaku Kasus BLBI dan Proses Penyelesaiannya
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat menjerat para pelaku di balik kasus BLBI adalah ketentuan di dalam Undang-undang No.3 Tahun 1971 (pasal  1 ayat (1) angkat {a} dan {b}) Juncto Undang-undang No.31 Tahun 1999 (pasal 2 ayat (1), pasal 3, dan pasal 4).
Selain dijerat oleh ketiga Undang-undang korupsi di atas, juga bisa oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penyertaan, percobaan, maupun penyitaan (pasal 39 KUHP).
Untuk proses penyelesaiannya, bisa menggunakan Undang-undang Darurat
Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi maupun Undang-undang  No.3 Tahun 1971 Juncto Undang-undang No.31 Tahun 1999.
5. Pendapat Saya
Setelah membaca kronologinya dan menganalisis kasus BLBI, semakin jelaslah sebenarnya bagaimana murat maritnya sistem birokrasi negeri ini. Saya sempat berpikir heran, mengapa Mendiang Presiden Soeharto dengan enaknya menerapkan langkah-langkah yang mencengangkan untuk mengatasi krisis moneter pada tahun 1997 – Mei 1998. Diantaranya yaitu tadi, melikuidasi 16 bank, membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas alias dana BLBI, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi.
Dulu, zaman tahun 1997 – 1998, pers masih belum sebebas sekarang. Jadi saya dan jutaan masyarakat Indonesia lainnya tentu sangat awam atau tidak familiar dengan kebijakan-kebijakan ekonomi. Hanyalah Pemerintah, anggota DPR dan pakar-pakar ekonomilah yang sangat mengerti masalah ekonomi. Coba lihat pers sekarang, sangat bebas dan pro rakyat. Tayangan-tayangan berita atau tulisan di surat kabar sangat membantu kita untuk mengetahui dengan jelas kondisi kenegaraan kita ini, baik itu di bidang ekonomi, hukum dan perundang-undangan serta lain sebagainya. Kadang ada juga yang menginvestigasi beritanya itu sampai ke akar-akarnya. Walaupun saya yakin birokrasi negeri ini tetap bobrok, tapi setidaknya pers dan media lainnya sudah memberitakan yang terbaik untuk perubahan negeri ini.
Kembali ke topik, jadi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) lahir karena untuk mengatasi masalah ini, yaitu menutupi talangan hutang luar negeri yang dilakukan para bankir tersebut.
Bank yang banyak menjamur sebagai akibat kebijakan deregulasi perbankan di masa orde baru akhirnya runtuh dan jatuh bangkrut, serta tetap tidak kuat menahan nilai mata uang rupiah yang anjlok, juga sektor perekonomian kita (industrialisasi yang dibantu oleh kredit bank) yang berantakan akibat kredit macet. Kredit macet itu saling berkaitan seperti tali temali, antara industri terhadap bank, bank terhadap pemerintah, pemerintah terhadap bantuan asing, sehingga menambah beban hutang luar negeri kita dengan total menjadi 600 triliun. Akhirnya banyak bank yang diambil alih pemerintah dan kemudian dijual kembali di bursa saham setelah sehat atau merger (digabungkan). Ada juga yang dinyatakan bangkrut dan hilang tak tentu rimbanya (begitu pula pemiliknya).

92tumpukan-rupiah



Kronologi Kasus BLBI 4.5 5 Fizzo's Blog 05/11/12 Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per satu mata uang negara-negara di Asia merosot nilainya...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.