Konflik Tanah! Perseteruan Pengusaha melawan Rakyat

 on 01/11/12  


Di Riau konflik pertanahan antara Suku Sakai yang merupakan penghuni sah rimba raya dan tanah Riau yang kaya minyak harus menanggung penderitaan terusir dari tanah leluhurnya. Kasus perseteruan antara Suku Sakai dengan PT Arara Abadi anak perusahaan Sinas Mas Group. Tanah yang dikuasai perusahaan ini dulunya adalah tanah ulayat Suku Sakai dan negara membantu PT. Arara Abadi pada tahun 1990-an untuk melakukan pencaplokan atas tanah seluas 8.000 ha untuk dijadikan sebagai kebun kayu ekaliptus dan akasia. Persoalannya adalah konsep tanah ulayat dalam Suku Sakai tidak diakui negara sebagaimana tanah ulayat dalam masyarakat Minangkabau dimana Nagari dan tanah ulayat diakui negara kepemilikannya sebagai milik komunitas lokal .
Demikian juga di tanah Papua kasus pengambil alihan tanah milik Suku Komoro dan beberapa Suku lainnya oleh PT Freeport Indonesia. Rebutan lahan antara Marinir dengan warga di di Alas Tlogo, Pasuruan Jawa Timur 30 Mei 2007 yang berbuntut kasus penembakan terhadap warga oleh anggota Marinir. Bahkan menurut catatan data yang dimiliki Komnas HAM berdasarkan laporan sejak 7 November hingga 5 Desember 2007 tercatat 273 berkas pengaduan tertulis yang diterima sebagian besar terkait permasalahan pertanahan masing-masing sebanyak 50 kasus. 
Apa penyebab terjadinya sengketa pertanahan yang melahirkan protes yang berkepanjangan adalah karena negara telah gagal memberikan perlindungan kepada rakyat dan gagal menjadi pihak yang seharusnya menjadi pelindung dan bukan sebaliknya melakukan persekongkolan dengan pengusaha untuk merampas hak rakyat atas tanah mereka. Sejarah persengketaan di bidang agraria akan terus berlanjut sepanjang negara tidak bisa membuat sebuah kebijakan yang berpihak kepada rakyat dengan melakukan perombakan hukum agraria secara revolusioner dan total bukan parsial yang sebenarnya cenderung hanya menguntungkan negara dan pengusaha/bisnis. Sebagaimana Muhammad Yamin Lubis Guru Besar Hukum Agraria Universitas Sumatera Utara menyebutkan, menguatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir ini seakan kembali menegaskan kenyataaan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyat (Waspada online, 2 Januari 2008).
Menurut Afrizal (2006:8-9) adanya protes bahkan konflik yang dilakukan oleh masyarakat/komunitas yang bersumber dari sengketa pertanahan di berbagai tempat di Indonesia bertujuan untuk ; Pertama, mereka melawan untuk mempertahankan lahan yang mereka kuasai semenjak lama sebagai tempat permukiman atau sebagai tempat melakukan aktivitas ekonomi pertanian yang diambil alih secara paksa oleh negara atau bisnis; Kedua, penduduk setempat atau komunitas setempat memprotes perusahaan dan negara untuk menuntut apa yang mereka sebut sebagai haknya terhadap lahan dan tanah yang sedang dikontrol atau diolah oleh bisnis atau negara; Ketiga, penduduk atau komunitas setempat memprotes aparatur negara atau bisnis untuk menuntut kontribusi ekonomis dari perusahaan atau dari pemerintah disebabkan oleh perusahaan yang bersangkutan atau pemerintah memamfaatkan tanah ulayat mereka atau karena pemerintah menjanjikan keuntungan-keuntungan ekonomis atas pemamfaatan tanah ulayatnya.
Tiga alasan yang menjadi tujuan mengapa masyarakat/komunitas melakukan protes sebagaimana yang disebutkan Afrizal dari analisis yang dilakukan terkait dengan kasus-kasus sengketa pertanahan di Sumatera Utara, sangat benar adanya karena sesungguhnya itulah yang menjadi tujuan dari warga mengapa melakukan perlawan dan protes. Permasalahannya bagaimana merespon apa yang menjadi tuntutan masyarakat/komunitas tersebut terhadap hak mereka atas tanah yang menjadi sumber persengketaan baik dengan negara ataupun pengusaha. Kalaupun sepertinya pertarungan tersebut tidak akan pernah memenangkan masyarakat sepanjang negara tidak melindungi hak rakyatnya atas tanah yang dipersengketakan.
Di Sumatera Utara sendiri dalam dua tahun terakhir ini tercatat beberapa kasus sengketa tanah yang mengharuskan negara berhadapan dengan rakyat face to face. Yang lebih menyedikan, ketika rakyat berhadapan dengan pengusaha, maka negara dalam kasus ini menjadi bagian yang membacking pengusaha untuk berhadapan dengan rakyat dalam persengketaan lahan. Atau rakyat yang diusir oleh negara dengan menggunakan aparat militer atau polisi. Dalam kasus pertanahan secara nasional Sumatera Utara tercatat sebagai daerah ketiga di Indonesia yang kasus sengekata tanah paling banyak setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur yang melibatkan negara-pengusaha versus rakyat. (Suara Pembaharuan, 7 Agustus 2007).
1. Kasus I :
Perebutan lahan antara PT. Bakrie Sumatra Plantations (PT. BSP) dengan masyarakat di Desa Sei Kopas Bandar Pasir Mandage Kabupaten Asahan. Dalam kasus ini pihak perkebunan menggunakan security PT. BSP dan 6 orang Brimob untuk menghalau warga dari lokasi perkebunan dengan melakukan pemukulan dan penahanan terhadap warga yang tergambung dalam Serikat Petani Sumatera Utara. Permasalahan ini juga sampai sekarang belum terselesaikan karena kedua belah pihak masih bersikukuh menyangkut kepemilikan tanah perkebunan tersebut (Dari berbagai sumber di internet diambil hari Rabu tanggal 2 Januari 2008).
2. Kasus II:
Pembukaan lahan sawit di kawasan hutan lindung di Kabupaten Labuhan Batu dilakukan tanpa pelepasan hak dari Departemen Kehutanan. Lahan Suaka Alam Ledong di Desa Sukaramai dan Desa Sono Martahi, Kecamatan Kualuh Hulu yang kini menjadi kebun kelapa sawit. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut, mensinyalir adanya orang kuat di balik pembukaan lahan di Kawasan Suaka Alam Ledong. Penanaman sawit bukan hanya dilakukan di lahan konservasi, melainkan juga di lahan milik warga. Ada sekitar 602 ha lahan warga yang juga dibuka untuk penanaman sawit. Sebanyak 301 KK yang memiliki lahan yang mempersoalkan pencaplokan tanah mereka, justru harus berhadapan dengan kepolisian lantaran dituding merusak lahan sawit yang bukan haknya (Kompas 15 September 2007).
3. Kasus III :
Korban konflik asal Nanggroe Aceh Darussalam yang berasal dari etnik Jawa yang dulunya adalah transmigrasi sampai sekarang tidak diakui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat. Jumlah warga konflik Aceh tersebut diperkirakan ada 560 KK. Buktinya tidak diakuinya mereka sebagai warga adalah tidak diberikannya Kartu Tanda Penduduk di tiga kelurahan tempat tinggal mereka. Tapi yang cukup aneh, pada saat Pemilihan Kepala Daerah yang lewat, nama mereka dicatat sebagai pemilih. Mereka juga terus diusir dari tempat tinggalnya di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) seluas sekitar 1.000 ha. Padahal warga tersebut tinggal di sana dengan sepengetahuan Pemerintah saat terjadinya konflik di Aceh dan sekarang warga disuruh pindah dengan alasan telah merambah wilayah hutan lindung. Yang paling menyedihkan mereka tidak pernah menikmati hak ekonomi, sosial, budaya, hak sipil dan politik selama di tempat barunya sebagaimana disebutkan lembaga Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Medan. Padahal yang diinginkan oleh mereka hanya kejelasan status kependudukan dan kepemilikan tanah di mana mereka tinggal sekarang (Kompas, 27 November 2007).
4. Kasus IV :
Tim Komisi Nasionak Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), menyebutkan telah terjadi pelanggaran di area pembangunan lapangan terbang Bandar Kuala Namu, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Dimana sebanyak 73 KK yang menolak pindah dari tempat tersebut selama sepuluh tahun hidup di kelilingi tembok area proyek bandara dan warga sudah kehilangan hak ekonomi, sosial dan budaya. Warga yang menuntut ganti rugi yang layak atas tanah, bangunan dan tanaman dan pemerintah hanya bersedia membayar ganti rugi tanaman sedangkan bangunan dan tanah tidak karena tanah dan bangunan tetap dianggap milik PT Perkebunanan Nusatantara II (PT PN II). Sengketa tanah ini sudah terjadi jauh sebelumnya, antara warga dengan PT PN II yang terus berbuntut dengan adanya rencana pembangunan lapangan terbang dimana warga tersebut sekarang berdiam.
Pada 20 September 2000, upaya penggusuran paksa pernah dilakukan aparat tetapi gagal karena warga melawan Padahal, warga sudah meminta relokasi tempat tinggal yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka, yakni di Desa Batang Kuis sekitar 10 km dari lokasi tanah yang dipersengketakan. Warga menawarkan lokasi di lahan seluas 45 ha. Padahal lebih satu abad mereka menjadi saksi sejarah perkembangan Kota Medan dan mereka adalah generasi ketiga yang menjadi buruh perkebunan PT PN II tersebut (Kompas, 5 dan 10 Desember 2007). Sampai sekarang pemerintah, baik itu Propinsi dan Daerah termasuk pihak PT PN II tidak bergeming dengan keputusannya, warga harus keluar dari tanah yang ditempatinya tanpa menerima konsensi ganti rugi apapun kecuali tanaman dan pembangunan bandara masih terus berlanjut.
5. Kasus V :
Warga Kelurahan Sari Rejo dan Pangkalan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) Medan. Konflik berawal setelah TNI AU melarang sekitar 2.450 KK membangun rumah di tanah yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka. Akses jalan masuk ke lingkungan tempat tinggal mereka dibatasi oleh TNI AU dengan membuat portal yang dibuka pukul 0.6.00 dan ditutup pukul 22.00. Sedangkan warga yang tinggal di komplek pemukiman mewah di komplek tersebut tidak ada halangan untuk ke luar masuk. Warga merasa hidup tidak bebas di tanah sendiri. Anehnya berdasarkan keputusan MA pada tanggal 18 Mei 1995 sudah mengakui hak tanah warga tersebut. Sementara pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Medan tidak bersedia mengeluarkan sertifikat atas tanah warga tersebut sampai sekarang ini.
Sedangkan pihak TNI AU mengklaim bahwa warga tidak punya hak atas tanah tersebut karena tidak bisa menunjukkan bukti dokumen kepemilikkan. Masyarakat dituding hanya merasa memiliki, tetapi tidak mempunyai bukti hukum yang kuat berupa sertifikat. Bahkan menurut pihak TNI AU status tanah itu masih dalam inventaris Dapartemen Pertahanan TNI AU dan TNI AU hanya menjalankan amanah untuk menjaga aset negara, dan pihak TNI AU mengatakan kalau ada putusan MA belum menerima salinan putusan tersebut (Kompas 4 Desember 2007).
6. Kasus VI :
Selama 35 tahun warga tiga desa di lima dusun Kecamtana STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang tidak bisa menggarap tanahnya sendiri. Meskipun sudah bekali-kali warga tersebut memenangi proses hukum, tanah mereka dijaga aparat. Bahkan kesepakatan yang dibuat wakil rakyat pun belum berpihak kepada mereka. Pemerintah mengakui tanah warga secara hukum, tetapi melarang merusak tanaman kelapa sawit yang ada di atas tanah tersebut. Sengketa tanah ini sudah terjadi sejak tahun 1975, ketika tanah mereka dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara IX (PTPN IX) tanpa alasan yang jelas. Padahal tanah warga tidak berada di dalam kawasan Hak Guna Usaha (HGU). Mahkamah Agung sendiri telah memenangkan warga sebagai pemilik sah atas tanah tersebut. Anehnya, tanah itu dikuasai oleh PT. Bintang Meriah dan PT Nuansa Baru dan pengelolaan tanah yang dilakukan warga diamankan oleh aparat kepolisian. Seharusnya 200 KK tersebut yang memiliki lahan seluas 525 ha yang dipersengketakan . DPRD Sumatera Utara yang pernah menjadi mediator dalam kasus persengketaan tersebut dan membuat semacam kesepakatan pada bulan September 2007, salah satu butir kesepakatan berbunyi : Agar pihak kepolisian tidak lagi melakukan penangkapan dan intimidasi kepada masyarakat yang ingin menguasai tanah dimaksud selama tidak melakukan pencurian dan perusakan tanaman sawit yang terdapat di atasnya. Keputusan tersebut ternyata tidak membantu warga. Sepanjang persengketaan yang terjadi sudah banyak korban kekerasan yang dilakukan aparat, baik yang dialami oleh warga dan atau kelompok yang mencoba membantu warga (Kompas, 14 Desember 2007).
Dari beberapa kasus yang disebutkan di atas, ditarik beberapa kesimpulan umum sebagai berikut :
1. Bila mayarakat berhadapan dengan pengusaha, maka negara lewat aparatnya – polisi-tentara menjadi backing pengusaha untuk menyelesaikan persengketaan atau mempertahankan kepemilikan tanah menjadi hak pengusaha.
2. Dari kasus-kasus yang terjadi bila dirunut ke belakang semuanya terjadi pada masa pemerintahan Soeharto yang melakukan pengambil alihan tanah dengan menggunakan pendekatan represif.
3. Kasus-kasus yang terjadi sepertinya memang disengaja dibiarkan dan tidak diselesaikan secara tuntas karena kuatnya kepentingan yang bermain antara negara dan pengusaha.
Resolusi Konflik Agraria : Perlunya Mengembalikan Hak Rakyat Atas Tanah
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh banyak peneliti dan pengamat terkait dengan konflik pertanahan yang terjadi sepanjang sejarahnya di Indonesia, bahwa asumsi yang menyebutkan negaralah sesunguhnya yang menjadi sumber konflik agraria, karena negara telah gagal menjadi mediator dan fasilitator pada saat terjadinya pelepasan tanah adalah benar adanya. Bahkan negara secara sistematis dan terencana berada di belakang pengusaha pada saat pelepasan tanah dengan menggunakan aparat bersenjata juga merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Sebagaimana Afrizal menyebutkan, berbagai studi katanya menunjukkan bahwa negara merupakan faktor penting penyebab konflik agraria, sementara solusi konflik itu sangat tergantung pula kepadanya (Afrizal, 2006:76). Afrizal bertolak dari studi Bachriadi (1997), Lucas (1997), Ruwiastuti (1997), Fauzi (1999), Stanley (1999), Bachriadi dan Lucas (2001), Hafid (2001) Nuh dan Collins (2001) dan Sakai (2002, 2003)
Bila bertolak dari thesis tersebut, maka penyelesaian konflik agraria harus dikembalikan kepada negara, karena sesungguhnya akar permasalahan bermula dari tindakan negara, tentunya solusinya dikembalikan kepada negara untuk membuat sebuah kebijakan yang dapat menyelesaikan persengketaan tanah tersebut. Salah satu solusinya adalah melakukan perubahan yang mendasar dalam hukum agraria yang lebih mampu mengakomodasi kepentingan mayarakat/komunitas yang dirugikan karena pengambil alihan tanah mereka oleh negara atau perusahaan. Teori yang menyebutkan negara adalah penjaga malam bagi rakyat merupakan landasan yang paling relevan diterapkan dalam menyelesaikan kasus-kasus agraria di Indonesia. Pertanyaannya maukah negara melakukan itu di tengah menguatnya semangat negara kapitalistik yang sedang menjalar dalam tumbuh negara bila kita bercermin dari Kasus Lumpur Lapido Brantas Inc di Sidoarjo (Kompas, 28 November 2007).
Sedangkan kasus-kasus tanah ulayat yang dimiliki komunitas adat, maka semestinya diberikan kewenangan kepada mereka untuk mengurusnya bukan sebaliknya mengusir mereka secara paksa dengan menggunakan pola-pola yang represif. Bukankah Undang-Undang Pokok Agraria sendiri mengakui keberadaan tanah adat, tapi kenapa begitu gampang dilakukan pengambil alihan hak-hak komunitas dan kepentingan mereka menjadi terpinggirkan oleh kepentingan negara atau pengusaha ? Ini merupakan cerminan dari ketidak seriusan negara dalam mengurus dan menjamin kepentingan rakyatnya (?).
Bertolak dari uraian-uraian di atas bahwa penyelesaian konflik pertanahan tetap muaranya ada di tangan pemerintah sebagai pemegang kuasa tertinggi atas tanah menurut undang-undang. Resolusi konflik yang ditawarkan sejalan dengan pendapat banyak pihak yang menawarkan solusinya penyelesaian persengketaan pertanahan yang melibatkan negara-pengusaha versus rakyat/masyarakat/komunitas adalah sebagai berikut :
1. Perlunya keadilan bagi penduduk atau komunitas setempat dengan mempertimbangkan ketidak adilan dan proses pengambilan tanah dari penduduk setempat atau peruntukan tanah yang belum digarap yang dilakukan aparatur negara dan bisnis untuk keperluan mereka. Resolusi konflik ini merujuk kepada pendapat Afrizal. (Afrizal., 2006:132).
2. Resolusi konflik yang diambil oleh negara dalam penyelesaian konflik tanah selama ini tidak sepenuhnya efektif, karena negara sepertinya bias dalam mengambil keputusan akibat persekongkolan dengan pengusaha. Dalam hal ini diperlukan adanya jaminan negara terhadap hak-hak atas tanah masyarakat melalui perubahan undang-undangan agraria yang lebih mengakomodasi kepentingan masyarakat tertutama dalam proses ganti utung bukan ganti rugi atas bangunan, tanah dan seluruh tanaman yang ada di atas tanah tersebut.
3. Perlunya pengakuan terhadap hak-hak komunitas lokal terhadap tanah yang disengketakan atas bekas tanah hak erfpacht. Pemberian HGU kepada perusahaan oleh negara semestinya tetap memperhatikan kepentingan komunitas lokal terlepas dari adanya argumen yang menyebutkan negara sebagai penguasa atas tanah-tanah tersebut. Sepanjang negara tidak memenuhi tuntutan komunitas lokal, maka persengketaan tanah akan terus terjadi.
4. Hendaknya penggunaan aparat negara dalam menyelesaikan konflik pertanahan dapat lebih dikurangi, tentunya dengan lebih mengedepankan penyelesaian yang
berorientasi kepada kepentingan bersama (musyawarah) bukan keuntungan satu pihak saja (negara-pengusaha), sehingga pola-pola militeristik yang dikedepankan selama ini dalam penyelesaian persengketaan tanah tidak diperlukan lagi.
http://ksmfhumts.wordpress.com
Konflik Tanah! Perseteruan Pengusaha melawan Rakyat 4.5 5 Fizzo's Blog 01/11/12 Di Riau konflik pertanahan antara Suku Sakai yang merupakan penghuni sah rimba raya dan tanah Riau yang kaya minyak harus menan...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.