Politik Pangan Minus Kemandirian
Kini politik pangan Indonesia lebih berpihak efisiensi ketimbang orientasi kemandirian pangan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah lebih memilih kebijakan impor dengan alasan lebih efisien (murah) daripada susah-payah membenahi pertanian yang digumuli jutaan rakyat petani Indonesia. Salah kaprah ini merajalela semenjak amandemen UUD 1945 yang mebuka pintu lebar-lebar bagi ekonomi neolib dan menghimpit ekonomi kerakyatan (Ekonomi Pancasila).
Politik Pangan Minus Kemandirian
Hal ini kami sarikan dari wawancara Majalah BERINDO (Berita Indonesia) dengan Syaykh
Al-Zaytun Abdussalam
Panji Gumilang tentang politik pangan Indonesia di Kampus
Al-Zaytun, Jumat 5 April 2013.
Panji Gumilang memberi contoh, kalau beras dalam negeri sulit, pemerintah memilih lebih baik membeli dari luar (impor), lebih efisien. “Toh di sana murah. Untuk apa susah-susah. Tidak berpikir bahwa jutaan rakyat Indonesia pekerjaannya mewujudkan pangan (petani),” urainya.
Syaykh
Panji Gumilang berharap agar pemerintah jangan hanya mengedepankan efisiensi. Tapi lebih mengutamakan tujuan awal agar bangsa ini mandiri dalam pengadaan pangannya sendiri. Sebab, menurutnya, hal itu bisa dilakukan walau dengan lahan pertanian teknis yang ada saat ini. “Benahi kehidupan petani dengan cara mendukung petani,” katanya.
Dia menyarankan agar bangsa ini melakukan reformasi lagi dengan mengamandemen UUD 1945 menuju kembali kepada aslinya. Karena aslinya jauh lebih baik. Dia juga menyarankan segera dibuka Bank Pertanian Indonesia yang fokus melayani petani (pelaku pertanian) bukan
pengusaha pertanian. Serta membuat Televisi Pertanian Indonesia yang fokus mencerdaskan petani. Menurutnya, jika pemerintah punya kehendak baik, hal ini mudah saja dilakukan, antara lain segi pembiayaan, hentikan subsidi BBM dan alihkan menjadi subsidi pertanian (petani).
Wawancara berlangsung di Masykoh Ma’had
Al-Zaytun, setelah malam sebelumnya (Kamis malam 4/4/2013) di tempat itu diselenggarakan acara syukuran Panen Raya 2012-2013 padi varietas unggul Simisuda (Sigromilir
Suryadharma Ali) yang dirangkaikan dengan Aqiqah Green Haverim Khalilurrahman (cucunya ketujuh), yang selain dihadiri para eksponen Al-Zaytun juga dihadiri keluarga dan sejumlah jamaah dari berbagai penjuru nusantara. Berikut petikan percakapan (wawancara)
wartawan BERINDO Marjuka Situmorang dan Bantu Hotsan (fotografer) yang juga didampingi
Ch. Robin Simanullang dengan Syaykh Panji Gumilang yang pada kesempatan itu didampingi Umi Khotimah Rahayu Panji Gumilang dan Sekretaris YPI-Al-Zaytun Uzt. Abdul Halim:
Syaykh AS Panji Gumilang menyarankan agar bangsa ini melakukan reformasi lagi dengan mengamandemen UUD 1945 menuju kembali kepada aslinya. Karena aslinya jauh lebih baik. Dia juga menyarankan segera dibuka Bank Pertanian Indonesia yang fokus melayani petani (pelaku pertanian) bukan
pengusaha pertanian. Serta membuat Televisi Pertanian Indonesia yang fokus mencerdaskan petani. Menurutnya, jika pemerintah punya kehendak baik, hal ini mudah saja dilakukan, antara lain segi pembiayaan, hentikan subsidi BBM dan alihkan menjadi subsidi pertanian (petani).
Majalah Berita Indonesia (MBI): Melihat situasi sekarang ini, menurut Syaykh bagaimana politik pangan negara kita yang masih mengalami masalah?
Syaykh Panji Gumilang (SPG): Sesungguhnya, kalau politik pangan Indonesia konsisten terhadap UUD 1945 yang didasari oleh lima dasar (Pancasila) harusnya tidak ada problem. Apa lima dasar itu? Yaitu dari Ketuhanan yang Maha Esa sampai yang kelima. Intinya, politik pangan itu harus didasari pada dasar negara yang kelima yakni mewujudkan: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
MBI: Apakah sudah terlaksana menurut Syaykh?
SPG: Oh, belum! Karena di dalam UUD yang sekarang berlaku itu intinya efisiensi. Mengenai hal-hal yang berkenaan dengan sumber daya alam dipergunakan sebesar-besar bagi rakyat, tapi ujung-ujungnya efisiensi. Menurut saya harus ada reformasi lagi. Reformasi atau amandemen UUD menuju kembali kepada aslinya. Karena aslinya jauh lebih baik.
MBI: Menuju kembali ke aslinya atau reformasi?
SPG: Reformasi menuju kembali ke aslinya. Sebab dalam aslinya, segala kreativitas bangsa ini bisa tertampung. Sekarang, orang berlomba-lomba bagaimana efisien. Padahal efisien tidak mutlak. Hanya efisien tapi tidak efektif.
MBI: Apakah amandeman yang tidak tepat atau pelaksanaannya?
SPG: Ada tujuan-tujuan tertentu tatkala amandemen itu. Tidak pernah terjadi di negara manapun dalam dua tahun empat kali merubah UUD secara integral, diobah total. Amerika Serikat menjadikan UU yang sekarang step by step membutuhkan waktu empat tahun. Jadi ada studinya. Kemudian pelaksana, sesungguhnya bisa melaksanakan sebaik-baiknya berdasar UUD. Lha, ternyata UUD-nya (hasil amandemen) memungkinkan untuk melaksanakan yang tidak seperti yang dikehendaki dasar negara kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yah, selesai.
MBI: Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, apakah politik pangan yang sesuai dengan dasar kelima itu sudah pernah dilaksanakan?
SPG: Sudah pernah saat
Pak Harto. Sekalipun tidak menjadi sesuatu yang dianggap baik oleh periode selanjutnya. Malah kadang-kadang dicerca.
MBI: Jadi efisiensi tadi berarti politik pertanian kita sudah menjurus ke kapitalisme?
SPG: Ya semuanya, bukan pertanian saja. Kalau misalnya beras dalam negeri ini sulit. Beli keluar, toh di sana murah. Untuk apa susah-susah. Tidak berpikir bahwa jutaan rakyat Indonesia pekerjaannya mewujudkan pangan (petani).
MBI: Jadi apa yang seharusnya dilakukan?
SPG: Benahi kehidupan petani dengan cara mendukung petani. Contoh, saya membaca tahun 2011 atau 2012 subsidi BBM itu 198 atau 189,8 triliun satu tahun. Tapi tidak jadi apa-apa. Kalau subsidi itu ditutup, dialihkan untuk ketahanan pangan entah itu dengan menyubsidi atau memberikan pinjaman tanpa bunga kepada petani atau memperluaskan areal pertanian, hasilnya akan nyata dan lebih baik. Kenapa kalau perkebunan bisa. Pertanian pangan tidak bisa?
MBI: Pernah kami baca terkait efisiensi itu, ada pihak-pihak yang berkepentingan karena kelompoknya diuntungkan dengan impor. Apa hal itu benar?
SPG: Kalau sudah efisiensi pasti ada tujuan, pihak mana saja. Mungkin pihak penguasa juga menginginkan turut campur impor. Kemudian nanti ada fee-fee tertentu. Mungkin saja fee itu untuk membiayai hal tertentu yang tidak ada dalam budget negara. Kan sekarang pelakunya adalah partai . Partai dari mana biayanya. Partai tidak memiliki kekuatan yang mandiri sehingga apa saja dibuat. Buktinya hari ini seluruh partai terjebak dalam lingkaran setan dan tidak bisa keluar.
MBI: Dari berbagai program pemerintah ini dalam rangka ketahanan pangan begitu bagus pidatonya?
SPG: Oh, kalau pidato semua bisa. Tapi tengok di lapangan pernahkah petani mendapat penyuluhan.
MBI: Nah, berkaitan dengan itu sepertinya pemerintah bukan tidak tahu ada masalah. Pemerintah tahu tapi usaha ke sana tidak ada. Upaya apa menurut Syaykh yang paling bagus?
SPG: Diubah dan bukan efisiensi yang dikedepankan. Tapi tujuan awalnya adalah bangsa ini mandiri dalam pengadaan pangannya sendiri. Itu bisa dilakukan di Indonesia. Dengan lahan pertanian yang ada sekarang setelah sudah banyak yang alih fungsi, itu masih bisa kok. Jadi kemauan yang tidak ada. Ayo, kita hitung, Tanah pertanian yang bisa ditanami padi itu awalnya 12.500. 000. Katakanlah tinggal 80%. Jadi kali 0,8 masih 10 juta hektar. Kita ambil rata-rata 6 ton per hektar. Hasilnya 60 juta lalu kali 1,5 kali menanam itu 90 juta ton gabah per tahun. Menjadi beras kali 0,52 menjadi 46,8 juta ton beras. Berapa keperluan bangsa Indonesia memakan beras per tahun? Sekarang dibagi penduduk 250 juta. Mendapatkan 0,1872 ton per kapita. Sedangkan keperluan bangsa ini walaupun terbesar didunia pemakan beras itu 0,13. Masih punya lebihan 0,05 ton perkapita x 250 juta. Masih punya kelebihan 14.300.000 ton per tahun.
Coba, kita punya 14,3 juta ton surplus setiap tahunnya. Kalau ini nanti kita perluaskan lagi. OK Stop perkebunan dulu, dikembangkan untuk pembukaan sawah. Saya yakin Indonesia ini bisa jadi pusat pangan dunia. Sekarang penduduk dunia 7 milyar, yang memakan beras sekitar 60 %. Jadi 4,5 milyar x 0,13 ton = 591,5 juta ton beras per tahun. Memerlukan lahan berapa ini. cuma 97.500.000. Sesuatu yang sangat mungkin kalau diubah politik subsidi. Jangan diberikan kepada knalpot. Berikan kepada mulut yang perlu makan.
Yang menjadi tidak masuk akal itu koq tidak bisa mencukupi? Jadi memang ada tujuan-tujuan. Salah satu solusi untuk mendorong produktivitas dan kemandirian pangan, segera buka Bank Pertanian Indonesia bukan BRI yang ada sekarang. Jadi fokus. Modalnya dari uang subsidi BBM. Berikan petani pinjaman modal tanpa bunga.
MBI: Fungsi Bank Pertanian Indonesia itu yang paling pokok menurut Syaykh?
SPG: Untuk memberikan pinjaman kepada petani. Jangan kepada
pengusaha pertanian. Hanya bagi petani, pelaku pertanian. Selain membuka Bank Pertanian Indonesia, buat juga Televisi Pertanian Indonesia untuk penyuluhan, fokus. Sekarang tidak jamannya, penyuluh datang ke kampung. Sebab 10 penyuluh berbeda-beda.
MBI: Tapi di TVRI kan sudah ada?
SPG: Siaran penyuluhan di TVRI itu kadang-kadang. Sama halnya seperti BRI yang tadinya mengcover biaya pertanian tapi tidak fokus. Maka buat khusus Bank Pertanian Indonesia dan Televisi Pertanian Indonesia.
MBI: Tahun 2014 pemerintah menargetkan swasembada beras. Menurut Syaykh bisakah?
SPG: Tidak bisa kalau begini caranya. Kalau mau swasembada beras, ikuti cara Al-Zaytun. Ini miniatur. Petani menggarap perlu modal. Petani jangan dikasih uang. Kalau dikasih uang selesai, petani tidak mencari padi lagi. Petani adalah kotor, tapi gampang dicucinya. Kalau politik kotor yang mencuci KPK. Siapkan dana untuk membuka lahan. Misalnya, butuh 500 ribu, ambil dana di bank pertanian. Turunkan pemeriksa, lalu acc kalu sudah dikerjakan. Tidak pakai agunan. Jadi kerjakan, diteliti, acc masuk ke bank. Seperti Al Zaytun ini, tidak pernah dikasih uang cash sebelum melaksanakan tugas. Bila sudah tanam padi baru dikasih uang. Di sini (Al-Zaytun) cuma satu meja melayani 259 hektar. Apa ada yang nakal? Paling 1-5% saja.
MBI: Jadi satu meja di Al-Zaytun ini miniatur Bank Pertanian Indonesia untuk ketahanan pangan Indonesia?
SPG: Iya! Bila ini diterapkan oleh
Menteri Pertanian, oleh pemerintah, oleh negara. Indonesia menjadi surga beras, bukan hanya istana tapi surga. Dan nanti dari mana-mana minta berasnya ke sini (Indonesia).
MBI: Lalu menurut Syaykh apa kesulitan pemerintah koq sampai sekarang ini tidak bisa?
SPG: Kalau mereka selalu sulit, bilang tidak efisien, karena diurus di meja jadi bersih tapi kadang-kadang kotor dalamnya. Sementara, kalau diurus oleh petani kemungkinan tidak efisien itu ada karena berbelit-belit. Nunggu dulu lama, musim tanam 3-4 bulan, dijemur dulu, belum lagi kehujanan. Komisi juga tidak ada.
MBI: Jadi menurut Syaykh, swasebada pangan bisa terwujud seperti masa Paka Harto. Tapi belakangan ini bawang juga impor, kedelai impor, garam juga impor?
SPG: Karena politik ekonominya efisiensi. Kalau sudah itu kan kapitalis. Siapapun yang punya kapital, datangkan (impor) banyak-banyak. Katakan di sini tidak cukup, atasi dengan impor, lebih efisien. Karena lebih murah dan efisien menurut mereka.
MBI: Tapi itu berarti Indonesia tidak mungkin mandiri?
SPG: Jangan cerita mandiri atau swasembada kalau sudah efisiensi. Efisiensi menjauhkan dari segala macam (kemandirian).
MBI: Kalau menurut Syaykh apa yang membuat pemerintah menjadi lebih condong ke efisiensi?
SPG: Karena UU dibuat seperti itu. Barangkali waktu mengamandemen ada titipan-titipan.
MBI: Jadi ada pembodohan?
SPG: Tak hanya pembodohan tapi pemiskinan. Kalau bodoh kadang-kadang masih bisa yang kaya.
MBI: Jadi politik pangan Indonesia sampai sekarang tidak berpihak pada yang menciptakan atau yang memproduk beras (petani)?
SPG: Kepada petani tidak ada rasa iba dari pemerintah kalau gagal panen. Masyarakat konsumennya juga tidak iba. Yah sudah, ambil (impor) dari Thailand. Katanya lebih murah bila diimpor. Tapi buktinya, dijualnya tidak lebih murah.
MBI: Jadi siapa yang paling bertanggungjawab?
SPG: Bangsa Indonesia, tentunya mengerucutnya kepada pemerintah. Makanya Al Zaytun ikut bertanggung jawab. Nah, kalau ada model seperti ini (Al-Zaytun) yang dapat menutup pangan, sudah selesai.
MBI: Jadi ini bagian dari rasa tanggung jawab?
SPG: Ya, coba bayangkan kita (Al-Zaytun) punya penduduk yang makan itu 5.000 tiap hari. Tapi kita sudah berfikir bagaimana supaya persediaan satu tahun itu terpenuhi. Dalam hal persediaan ini kami menghitung satu tahun 390 hari. Harus ada cadangan. Ternyata dengan serius kita lakukan, persediaan bisa 550 hari. Kalau Indonesia bisa begitu. Bisa kirim beras ke negara lain. Dulu
Bung Karno itu walau tidak punya pertanian yang maju bisa mengirim ke Mesir, India.
Pak Harto juga pernah begitu. Sekarang kalo kita punya persediaan 550 hari kan lumayan.
MBI: Menurut Syaykh, adakah negara yang politik pangannya bisa dicontoh?
SPG: India, Vietnam, Thailand. Metode mereka, petani dimanjakan dalam arti positif. Berapa pun petani produksi, pemerintah ambil (beli, tampung). Kemudian harga yang diberikan pemerintah kepada petani tidak lebih rendah daripada harga pasar. Kalau kualitasnya bagus ditambah sekian persen. Walaupun nanti dijual ke pasar harganya lebih murah daripada yang dibeli pemerintah langsung dari petani. Itu namanya subsidi. Jepang pun seperti itu.
MBI: Jadi petaninya terlindungi ya?
SPG: Bukan hanya terlindungi tapi semangat. Berlomba-lomba menghasilkan produksi yang tinggi walaupun dengan areal lahan yang sempit. Areal kita luas tapi produksinya jauh lebih rendah dari negara lain. Nah semangatnya yang kurang. Kepastian pasar juga tidak ada.
MBI: Bagaimana di Indonesia?
SPG: Karena sudah liberal jadi terserah pasar. Begitu petani panen, tekan harga karena mereka (kapitalis) yang punya uang. Prakteknya begitu.
MBI: Kalau kita perhatikan, masyarakat petani kita kurang militan. Kalau bisa jangan jadi patani. Kenapa begitu?
SPG: Apa boleh buat karena diposisikan seperti itu. Coba kalau diposisikan seperti yang lain. Dihormati, diberikan pinjaman, siapkan bank tanpa bunga, jamin harga. Berikan penyuluhan yang jelas 24 jam Televisi Pertanian Indonesia. Petani semua punya TV. Tidak perlu mengutus orang, tinggal klik nyalakan TV. Jadi bisa seragam pengertiannya. Bagaimana cara menanam keledai, cara pemberian pupuk. Jadi petani dicerdaskan, dipandaikan bukan direndahkan.
MBI: Itu kenyataan yang kita lihat, di kampung petani berlomba jadi karyawan atau buruh perkebunan bukan mengolah tanahnya padahal tanahnya ada bahkan luas. Apa penyebabnya?
SPG: Akibat buruknya politik pertanian. Akibat efisiensi yang tidak diikuti oleh efektif dan efisien. Mestinya keduanya menyatu seperti mata uang. Itu menurut saya, terserah menurut Anda.
MBI: Jadi kenapa Indonesia jadi terhanyut kepada efisiensi saja?
SPG: Ya, tadi sudah dijawab. Dipersiapkan dari sejak amandemen. Tidak ada di negara manapun selama dua tahun empat kali amandemen UUD.
MBI: Jadi kalau begitu kita harus menunggu amandemen dulu lagi (kembali ke aslinya). Itu pun belum tentu langsung dilaksanakan eksekutif. Berarti masih lama lagi kita menunggu perubahan itu?
SPG: Jangan pernah ingin cepat. Jalankan yang wajar seperti air. Dibendung naik, tidak bisa naik, rembes, ngalir.
MBI: Jadi sangat tergantung dengan political will pemerintah?
SPG: Yah, itu dimana-mana seperti itu. Amerika saja yang sudah liberal masih berpegang teguh pada pertanian. Petaninya diproteksi dan dimakmurkan. Karena pertanian adalah imej bangsa. Bangsa Amerika bisa maju karena hasil pertaniannya tinggi, kualitas pertaniannya tinggi dan bisa dikonsumsi oleh bangsanya, sehat dan mencerdaskan.
MBI: Indonesia sering menjadikan Amerika sebagai tolak ukur, tapi prakteknya tidak sesuai atau malah berlebihan. Ada apa ini?
SPG: Berarti disini pincang tadi. Efektif dan efisien tidak disatukan. Efisiennya saja, efektifnya masa bodoh. Jadi kebijakan itu entah efektif bagi rakyatnya atau tidak, yang penting efisien. Maka perhitungan makronya muluk, mikronya gak karuan.
MBI: Al Zaytun sudah membudidayakan bawang dan dalam skala nasional ketersediaan bawang bermasalah. Bagaimana ini?
SPG: Bawang di sini (Al-Zaytun) untuk makan sendiri saja. Sama seperti padi. Cuma bisa dijadikan miniatur. Kita melengkapi kebutuhan 5.000 orang saja bisa. Baik nasi maupun ikan (lauk).
MBI: Menurut Syaykh, seharusnya apa pekerjaan utama
Menteri Pertanian?
SPG: Memikirkan pertanian yang sampai ke detail-detailnya dan petani.
Menteri pertanian itu jangan hanya membuat peraturan menteri yang tidak efektif kepada petani. Harus berorientasi petani. Sekarang tidak. Maka, kata petani, ada menteri pertanian maupun tidak ada sama saja di Indonesia ini. Kami bisa jalan koq tanpa Mentan.
MBI: Sejak kapan gejala itu Syaykh lihat, apakah sejak reformasi atau baru-baru ini?
SPG: Yah, belakangan. Belasan tahun ini saja. Dulu kan presiden turun ke petani. Berdialog dengan petani. Menanyakan hasil panen dan masalah petani. Masalah pupuk mahal langsung instruksi ke Pusri supaya harga pupuk turun. Presiden memimpin petani karena ingin swasembada. Lha ini menterinya tidak kenal petani. Buktinya Sang Hyang Seri di Sukamandi, Subang, banyak mengeluarkan bibit. Tapi sekarang banyak bibit yang tidak berkualitas. Makanya pimpinannya dicuci KPK.
MBI: Jadi untuk jangka dekat, bisa juga kita merindukan pemimpin seperti
Pak Harto dulu?
SPG: Jangan dirindukan tetapi diwujudkan. Perbaikan ini harus diwujudkan.
MBI: Harapan Syaykh kepada para pembuat kebijakan supaya politik pertanian kita membaik?
SPG: Bantu dengan sesunguh-sungguhnya rakyat petani. Hentikan subsidi BBM yang hanya dinikmati oleh orang-orang yang punya mesin. Jual BBM dengan harga umum internasional. Alihkan subsidi kepada petani-petani dan pertanian. Termasuk bantuan modal, dan penyuluhan. Itulah tadi satu tahun 189,8 triliun bisa membantu petani luar biasa. Bisa ekstensifikasi lahan dan sebagainya.
MBI: Menurut Syaykh, apa makna kemandirian pangan untuk bangsa ini?
SPG: Tatkala dia (rakyat) mau makan, ada (pangan). Tatkala dia mau mengirim makanan ke tetangganya, ada. Dan adanya pangan itu hasil bangsanya. Itu baru mandiri. Sekarang mau mengirim ke tetangga ada, tapi beli di pasar, diproduksi oleh bangsa lain. Kita tidak anti dengan bangsa lain. Tapi kita semestinya mandiri. Sebab kita mampu berbuat kecuali kalau kita tidak punya SDM yaitu petani, dan sumber daya alam.
Semua ada dan mencukupi. Bayangkan 12 juta hektar sawah teknis dimilki bangsa ini. Kalau kali 4 ton saja per tahun, sudah cukup. Bisa naik haji 10 kali setahun. Yang Nasrani, bisa ziarah ke Vatikan 10 kali dalam setahun. Itu kemandirian pangan namanya. Kita contohkan dengan miniatur kecil (Al-Zaytun). Sekarang naik haji cuma Rp.34,5 juta. Kita bagi kalau panen Agustus dibagi 4500 cuma 7 ton 660 kg. Ini bisa panenan satu hektar. Klo punya 5 hektar bisa lima kali naik haji. Wawancara Berita Indonesia |
Copyright © tokohindonesia.com
Ternyata hanya Petanian yang bisa menolong Indonesia
18/06/13 on
Tidak ada komentar:
Posting Komentar